66 | Berkorban

7.7K 599 19
                                    

"Hoeekkkk... hooeeekkkk."

Suara muntahan dari dalam kamar mandi membuat Keifani segera berlari ke sana, Darius tampak menundukkan kepalanya pada wastafel seraya berusaha mengeluarkan seluruh isi perutnya.

Keifani mendekat lalu memijat tengkuk Darius. "Mas, masih mual kah?" tanyanya cemas.

Darius mengangkat kepalanya hingga tangan Keifani yang berada di tengkuknya terlepas, suami hanya mengangguk dengan wajah pucat.

"Ya udah, Mas istirahat di tempat tidur ya. Aku udah buatin Mas teh jahe."

Keifani menuntun tubuh besar Darius membawanya ke ranjang, baru saja dia akan menyelimuti suaminya. Suara pintu terdengar dibuka dari luar, di sana berdiri wajah mami yang begitu cemas.

"Darius sayang." Mami menyeret kakinya mendekati ranjang, Keifani dengan sigap mundur membiarkan mami duduk di pinggir ranjang dekat Darius.

Mami begitu telaten memperbaiki letak selimut putranya hingga sebatas dada, memeriksa suhu badan, dan juga menyentuh keningnya lalu kening Darius memastikan perbandingan suhu diantara keduanya.

"Nggak panas, tapi kamu kok pucat banget." Mami beralih ke arah Keifani. "Kei, Darius udah dibawa ke rumah sakit?"

Keifani menggeleng. "Mas Darius nggak mau ke rumah sakit, Mi. Cuma panggil dokter Kiki untuk periksa tadi tapi katanya semuanya normal kok, Mi. Mungkin Mas Darius cuma masuk angin."

"Masa cuma masuk angin sampai seminggu nggak sembuh-sembuh sih," komentar mami.

"Mungkin anginnya angin topan, Mi. Makanya nggak sembuh-sembuh," sela Deana datang dari belakang.

Kompak mami dan Keifani menoleh sedangkan Darius sudah tak mampu bersuara dengan mata terpejam, seluruh badan lemas karena lemas. Semua makanan yang masuk pun tak akan bertahan lama di dalam perutnya, pasti akan keluar kembali. Bahkan saat Keifani memasakkan sup ayam kesukaannya, Darius enggan menyentuhnya dikarenakan indera penciumannya mendadak sensitif.

Dua hari yang lalu pun saat Keifani menumis kangkung, aroma bawang merah yang menyengat---biasanya tidak menganggunya---kini sangat-sangat sensitif menusuk hidungnya.

Saat diperiksa dokter Kiki pun mengatakan jika kesehatannya semuanya normal, tidak ada satu penyakit pun yang membahayakan menyerang tubuhnya.

Lantas apa penyebab Darius menjadi begini?

"Husshh, jangan ngomong gitu, Ana! Masnya lagi sakit malah ngomongnya sembarangan."

"Ish, Mami. Jangan panggil Ana dong," protes Deana kesal.

Mami mengedikkan bahunya. "Lho, nggak ada yang salah. Nama kamu Deana M Darwin, ada kata Ana-nya di sana."

Deana memutar bola matanya bosan. "Tapi tapi itu nggak keren sama sekali, Mami."

"Keren kok, kayak nama adik...." Mami beralih pada Keifani yang sejak tadi hanya dia melihat perdebatan ibu dan anak itu. "Aduh, siapa lagi namanya, Kei? Yang itu punya kekuatan es."

"Elsa, Mi." Bukan Keifani yang menjawab melainkan Deana.

"Nah, iya, si Elsa." Mami terkikik. "Adiknya Andin juga namanya Elsa, ck. Tahu nggak, Kei. Episode kemarin kalau Mas Al...."

"Mi, please deh. Kita ke sini mau jengukin Mas Darius atau mau bahas sinetron andalan Mami itu."

Mami menepuk kening mulusnya seraya terkekeh malu. "Oh iya ya, Mami jadi lupa kalau udah menyangkut Mas Al. Duh, rasanya Mami pengen kembali muda. Kenapa sih Mami lahir duluan dari Mas Al."

Deana lagi-lagi memutar bola matanya. "Mi, lebih baik kita pulang deh, sebelum De telepon Papi terus bilang Mami baru aja memuji Mas Al."

Keifani tertawa kecil melihat wajah panik mami. "Jangan dong, De. Udah cukup ya Papi ngambek gara-gara Mami muji kegantengan Mas Al, jangan sampai Papi larang Mami nonton Mas Al lagi."

Loveable Ties (TAMAT) Where stories live. Discover now