Tiga

80 17 0
                                    

Angin sepoi-sepoi terhembus sejuk dari atap gedung sekolah Ehren. Ia membantu untuk membuat Ji Na terlihat menjadi jauh lebih cantik dengan helaian rambutnya yang berterbangan terhembus angin. Tak heran jika Yun Oh terpesona. Bola mata jernih berwarna cokelat terang milik Ji Na bahkan terlihat begitu menarik di bandingkan objek apapun yang ada di sekitar mereka. 

“Ish! Apa yang Ayahku katakan tentang kasus pembullyan di sekolah ini rupanya benar,” Ji Na masih belum berhenti menggerutu, mengomel sepanjang gadis itu menutulkan obat di sekitar wajah Yun Oh. “Kau tau, inilah alasan sebenarnya Ayahku memindahkan aku ke sekolah di sini. Guru-guru yang brengsek harus segera pergi dari sini.”

Yun Oh menyunggingkan senyum gemas, mendengar umpatan kasar dari bibir manis Ji Na. 

“Kau mengumpat,” ucap Yun Oh.

“Aku bicara apa adanya,” Ji Na menegak. “Ayahku merekrut aku sebagai agen FBI, kau tau? Aku mata-mata di sini. Mereka semua harusnya bersikap baik padaku sebelum aku membongkar satu-persatu aib mereka ke pengacara Ayahku. Habis semua~ Sraakk! Bersih dari orang brengsek.”

Yun Oh mendadak terdiam. Ia teringat ucapan Ji Na yang menyebutnya sebagai kekasihnya di ruang guru barusan. 

“Jadi itu alasanmu,” gumamnya lemas. 

“A-apa?” Ji Na panik. “Apa aku salah bicara?”

Yun Oh menggelengkan kepala, lantas tersenyum hangat. “Aku baru saja mencari-cari alasan, apa yang membuatmu begitu baik menolongku. Bahkan, sampai berbohong pada seluruh guru kalau kau pacarku hahaha… Padahal, kita baru bertemu kemarin.”

“A-ani, bukan begitu,” meskipun Ji Na pun merasa tindakannya serba gegabah dan serba buru-buru. Tapi, Ia sungguh-sungguh ingin mengenal Yun Oh lebih jauh. 

“Tak apa, Ji Na. Gadis cantik sepertimu tidak seharusnya dengan pria culun sepertiku. Hehehe… tidak cocok. Aku bisa membantu kalau kau perlu bukti untuk dibawa ke pengacara Ayahm⸺”

“Haish! Apa-apaan kau ini?!” pekikan Ji Na berhasil membuat Yun Oh berjengit terkejut. “Aku justru ingin dekat denganmu. Aku menyukaimu. Aku senang bersamammu meskipun kita baru bersama kemarin sore. Tapi, aku berterima kasih karena waktu itu kau mau menemaniku sampai Seung Kwan datang. Kau tidak tau kalau tindakan itu berpengaruh besar pada diriku, hah?”

“K-kau menyukaiku?” Yun Oh melotot. “Mana bisa?”

Ji Na mengernyitkan dahi. “Kenapa tidak bisa? Aku perempuan. Kau laki-laki. Tentu saja bisa.”

“Bukan..bukan begitu. Aku kan…” Yun Oh memandang penampilannya sendiri hingga kakinya. 

“Ssstt. Semua bisa dicoba. Kenapa harus membeda-bedakan aku begini, kau begitu, hah? Aku menyukaimu. Kau tidak tau cinta pandangan pertama, ya? Eo? Aku menyukaimu sejak kau menyetelkan lagu I Wish waktu itu.” Ji Na gantian melotot pada Yun Oh. “Jangan meragukanku. Aku tidak pernah menyukai pria lain. Aneh, kan? Tapi, aku tau aku sudah menyukaimu. Dan, aku ingin menjadi semakin menyukaimu. Harus.”

Yun Oh menelan air liurnya yang kering. “K-kau mengerikan,” ucapnya. 

Sementara, Ji Na terkekeh melihatnya. 

“Lagipula, kau tidak seharusnya tidak percaya diri begitu. Semua bisa dirubah,” Ji Na mengibaskan tangannya dari atas kepala Yun Oh hingga kakinya. “Kau hanya oldfashion saja. Bukan berarti kau berhak diminioritaskan begitu. Coba lihat sini.”

Ji Na tau-tau bergerak, merapatkan posisi duduknya dengan Yun Oh. Tindakan sembrono gadis itu berhasil membuat Yun Oh menahan napasnya sesaat. Jarak Ji Na terlalu dekat dengan wajahnya. Tangan gadis itu bahkan tak segan-segan hinggap di wajahnya, melepaskan kaca mata berlensa tebal milik Yun Oh. 

“Kau bisa melihatku kalau tanpa ini?” tanya Ji Na.

Yun Oh menggeleng. “Buram,” jawabnya. 

“Kalau sedekat ini?” Ji Na mendekatkan wajahnya, menjadi persis di depan puncak hidung Yun Oh; sedikit lagi bersentuhan dengan hidungnya jika Ji Na mendekat semakin jauh. 

Semburat kemerahan hinggap di pipi Yun Oh. Wajah Ji Na jelas sekali di hadapannya. Begitu dekat. Begitu cantik. Bahkan, Yun Oh melihat semburat kemerahan yang juga perlahan-lahan muncul di pipi Ji Na. 

“K-kau lihat tidak?” desak Ji Na menutupi rasa gugupnya. 

“L-lihat,” jawab Yun Oh. “Cantik.”

Ji Na menyunggingkan senyum lebar mendengar pujian Yun Oh. 

“Ya~ Kau pintar merayu, Yun Oh~”

“A! Bukan begitu…”

“Aku menyukainya. Sering-seringlah begitu, hm?”

Giliran Yun Oh yang tersipu. 

“Dan, ya, lihat. Kau tanpa kaca mata saja sudah tampan. Apalagi kalau tatanan rambutmu ini dirub⸺” Ji Na kehilangan kata-katanya begitu ia membuat rambut Yun Oh tersibak ke belakang. Memamerkan dahi indah dan alis lebatnya yang mempesona. “⸺ah. W-wah. Kau…Yun Oh, kau…tampan sekali.”

Yun Oh super tampan. Ketuk palu.

Dan, si tampan itu kini berada begitu dekat dengan Ji Na. Dasar, gadis itu baru menyadari betapa berbahayanya posisi ini. 

“Y-yun Oh-ya,” wajah Ji Na semakin memerah. “Ayo kita berpacaran.”

“Huh?”

CUP. 

Si gadis nekat itu bergerak memberikan kecupan di bibir tebal Yun Oh. 

“Mulai sekarang, kau pacarku. Ingat?”

Yun Oh kehilangan kata-kata. Ciuman Ji Na. Senyum gadis itu. Usapan lembutnya di wajah Yun Oh. 

“Dan~” Ji Na tau-tau membawa kembali rambut Yun Oh turun menutupi dahinya. Ia kembali pasang kaca mata di wajah Yun Oh. “Hanya aku yang boleh melihatmu seperti tadi. Semua orang tidak boleh ada yang tau kau setampan itu, eo? Nanti mereka jadi menyukaimu. Lalu, kalau kau ikut menyukai mereka dan kau…kau meninggalkanku, bagaimana? Tidak boleh!”

Yun Oh terkekeh. Ji Na menggemaskan, pikirnya. Tangannya jadi terulur, tak tahan untuk tidak mencubit pipi gadis itu. Tapi, ia urungkan begitu ia mendapati luka kecil di pipi Ji Na. Niatnya untuk mencubit gemas pipi Ji Na pun berubah menjadi usapan lembut di luar luka Ji Na. 

Skinship yang Yun Oh lakukan berhasil membuat wajah Ji Na semakin memerah. 

“Kita baru mengenal satu hari. Apa…tidak masalah?” tanya Yun Oh.

“Kenapa memangnya? Kita bisa berusaha lebih saling mengenal lagi sambil berpacaran, kan?”

Yun Oh tersenyum malu. 

“C-ciuman tadi. Itu…itu juga ciuman pertamaku.”

“Kenapa kau berikan padaku?!” sambar Yun Oh.

“Kan kau pacarku. Memang tidak boleh?”

“T-tapi kan…terlalu…terlalu cepat.”

Ji Na justru menyunggingkan senyum jahilnya. Ia siap menggoda Yun Oh. 

CUP.

Dengan mendaratkan sekali lagi bibirnya di atas bibir tebal Yun Oh. 

“Y-ya!” tegur Yun Oh.

“Kenapa?” Ji Na tak peduli. Justru mendaratkan ciumannya sekali lagi. “Aahh! Kau membuatku gila! Gemas sekali, eo?!”

“Berhenti!!” 

Yun Oh melarikan diri. Ia kabur, sementara Ji Na tertawa puas begitu nyaring. 

TWINS : My First and My LastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang