Lima Puluh Empat

86 11 1
                                    

Desclimer :
Absen jempol!!!

Bintangnya manaa??

Sudah?

Mantap.

Laf Yu!!

*

Pukul 14.30, Ji Na menghabiskan waktu kesendiriannya siang ini di dapur. Wanita itu sibuk mencuci peralatan bekas bakingnya di wastafel. Setelah beberapa waktu yang lalu ia menyempatkan waktu membalas pesan Jae Hyun, kini ia menyibukkan diri dengan melakukan pekerjaan lainnya sambil ditemani lagu-lagu yang disetel dengan volume kencang. Sengaja Ji Na lakukan untuk mengusir kesepiannya. 

Lampu di ruang tengah agak remang, pencahayaannya tak terlalu sempurna karena hanya mengandalkan sorot sinar matahari yang terpancar dari jendela-jendela di sekitar rumahnya. Sementara, area dapur cukup terang karena Ji Na membuka penuh jendela yang berada di dapur. Sehingga, sorot matahari bisa masuk dengan leluasa melalui jendela dapurnya. 

Sejatinya, Ji Na agak lalai siang ini. Ia melupakan jendela ruang tengah yang⸺kebetulan kuncinya agak rusak sehingga⸺tidak tertutup dengan baik. Wanita itu tak menyadari ada seseorang berpakaian serba hitam, jaket kulit warna hitam dengan penutup wajah yang tengah menyelinap masuk diam-diam. Pria itu menghampiri sosok Ji Na dari arah belakangnya. Berjingkat tanpa suara dengan satu benda tajam di tangan kanannya.

Ji Na tak menyadari keberadaan penyusup di rumahnya, sampai sebuah lengan mengunci leher Ji Na dari arah belakang dengan todongan pisau yang menekan pinggangnya. Wanita itu membeku, tak berani bergerak sembarangan lantaran ada pisau yang mengancam pinggangnya. Perlahan, sambil mengatur napasnya Ji Na meletakkan piringnya ke wastafel dengan bola mata yang ia arahkan ke sudut matanya. 

“Aku hanya perlu membunuhmu untuk dapat banyak uang,” pria itu mengancamnya. Suaranya terdengar sangat berat, dalam dan tanpa keraguan sedikit pun. Tubuhnya yang jauh lebih tinggi dari Ji Na membuatnya tak sulit untuk mengunci pergerakan Ji Na dari arah belakangnya. 

Bola mata Ji Na menangkap sosoknya. Pria di balik penutup wajah berwarna hitam rapat yang tengah memiringkan kepalanya seperti seorang psikopat. 

“Pekerjaan ini terasa sangat mudah,” Pria itu terkekeh; meremehkan Ji Na. “Kenapa juga aku harus dihadapkan dengan wanita kecil nan ringkih begini?”

Ji Na merapatkan gigi gerahamnya; menahan air mata yang siap lolos saking ketakutannya. 

“Siapa kau?” tanya Ji Na dengan suara gemetar dan berhasil melelehkan bulir air matanya.

“Aku?” Pria itu menghela napas. “Tak penting siapa aku. Kau juga tidak kenal aku. Aku tidak kenal dirimu. Yang penting, harga membunuhmu adalah 300juta Won.”

Jantung Ji Na berdetak semakin kencang. Teror yang tadinya dikira hanya delusi oleh Ji Na, kini harus Ji Na hadapi sendirian, persis di depan matanya dengan todongan pisau yang siap mengobrak-abrik isi perutnya. 

“Seseorang menyuruhmu?” Ji Na tak mau gegabah. Ia perlu mengorek sesuatu sebelum ia mati.

Pria itu terkekeh lagi. “Tentu. Aku hanya butuh uangnya.”

“Siapa?”

“Hah! Kau adalah korban yang cerewet!” Pria itu menekan pisaunya menusuk daging di pinggang Ji Na hingga merembeskan darah. “Menyerah saja dan biarkan aku mendapatkan 300 juta Won dengan mudah.”

Sambil meringis, Ji Na menyunggingkan senyum miring. Ini kekuatan terakhirnya, meskipun dirinya ketakutan setengah mati. 

“Kau salah lawan, Pak⸺SRAK! BRUK! BUG!”

TWINS : My First and My LastWhere stories live. Discover now