Lima Belas

80 11 0
                                    

Objek pertama yang ditangkap oleh indera penglihatan Ji Na adalah sepasang mata biru yang basah milik Ludwig. Sang Putri mengerjapkan sejenak matanya beberapa kali, mengumpulkan seluruh potongan cahaya menjadi satu kesatuan yang utuh; berbentuk wajah super khawatir Ludwig.

"Honey, do you hear me?"

Cairan bening langsung terproduksi massif di pelupuk mata Ji Na.

"Dad,"

"Oh God. Oh my god, Gisa,"

Ludwig berhambur memeluk putrinya erat. Ia biarkan tubuhnya merunduk rendah menghampiri Ji Na yang terbaring di atas ranjang rumah sakit sambil terisak kencang. Sang Putri Bungsu menjerit sekuat tenaga, memanggil Ayahnya sambil mencengkram kaos pada punggung Ayahnya kuat-kuat.

Ia bersalah setengah mati, telah menciptakan kesedihan yang mendalam di setiap tarikan isak tangis Ludwig. 

"Maafkan aku, Dad. Maafkan aku,"

Suara Ji Na serak. Berhari-hari tak sadarkan diri membuatnya tak bisa menjerit sekencang-kencangnya. Meskipun ia ingin, menjeritkan seluruh rasa bersalahnya demi mendapat ampunan Ayahnya. Oh, ia dapat kesempatan hidup lagi.

"Ayah hampir kehilanganmu, Sayang."

Ludwig menangis. Terdengar jelas dari suaranya yang mencekat dan berat. 

"Jangan pergi lagi tinggalkan Ayah, Darl. Jangan lakukan itu. Hukum Ayah kalau Ayah melakukan kesalahan padamu."

Ji Na menggelengkan kepalanya lemah. Oh, ini murni salahnya sendiri.

"Ini salahku, Ayah."

"Ayah sudah bilang, ini bukan salahmu," Ludwig melepaskan pelukannya. Tangan kekarnya bergerak merengkuh wajah pucat putrinya. Mengusap pipinya yang basah kuyup dengan air mata. "Ayah begitu mencintaimu. Tolong, pikirkan tentang Ayah setiap kali kau ingin pergi seperti itu. Kau tidak seharusnya tega meninggalkan Ayah, Sayang."

Ji Na mengangguk. Tak kuasa merespon cukup banyak. Ia memilih untuk kembali berhambur ke pelukan Ludwig. Memeluk Ayahnya seerat yang ia bisa.

*

Dada Jae Hyun begitu menggebu-gebu. Entah kenapa berita mengenai siumannya Ji Na memberikan dampak yang begitu besar pada dirinya. Seluruh saraf pada tubuhnya seolah bekerja sekuat tenaga, mendukung gerak kerja tubuhnya untuk bisa tiba di ruangan Ji Na secepat mungkin.

BRAK!

Langkah kaki tergesa Jae Hyun berhasil berhenti di ambang pintu ruangan Ji Na. Ia bahkan menimbulkan suara dobrakkan pintu yang cukup dramatis dan berhasil membuat beberapa orang di dalam ruangan menoleh ke arahnya.

Dada Jae Hyun naik-turun; napasnya tergesa. Ia masih berusaha begitu kuat mengendalikan sirkulasi udaranya sambil mencerna apa yang tersuguh di hadapannya. 

Ada seorang dokter dan seorang suster yang berdiri di sisi ranjang Ji Na.

Ada Ayahnya, yang langsung bergerak ke sisi Jae Hyun begitu Sang Anak menciptakan keributan yang cukup dramatis dari kehadirannya. 

Dan,

Ada Ji Na. Wanita itu sudah membuka kedua matanya, terduduk begitu rapuh dalam pelukan Ludwig. Memeluk begitu erat dari kedua tangan ringkihnya pada tubuh Sang Ayah, seolah ia tak ingin dipisahkan kembali. Ada Ji Na, yang memberikan Jae Hyun kesempatan kedua untuk mengulang kesalahannya dengan berhasil bertahan hidup. 

Meskipun, ia tau, akan ada begitu banyak masalah yang mengantri di hadapannya setelah ini. Setidaknya, Jae Hyun tak merasa di hukum untuk yang kedua kalinya jika ia tak berhasil menyelamatkan nyawa Ji Na. 

TWINS : My First and My LastWo Geschichten leben. Entdecke jetzt