Dua Puluh Tiga

95 10 0
                                    

One Year After….              

Ji Na meletakkan sebuah frame fotonya kembali ke atas nakas di ruang tengah. Senyumnya mengembang lebar tanpa jeda, mengangkat kedua sudut bibirnya dengan begitu percaya diri dan bahagia. Hatinya berderu sebagai efek dari lepasnya hormon dopamin yang mendominasi tubuhnya. Kebahagiaannya terasa semakin nyata begitu ia berhasil mengganti foto lama di frame tersebut dengan foto yang baru. Yaitu, foto dirinya dalam rangkulan tangan Jae Hyun bersama kuda kekar berwarna hitam bernama Hans.

Ya, sejatinya, bertemunya Ji Na kembali dengan kuda kesayangannya dulu rupanya menjadi obat paling mujarab yang mampu menyembuhkan keterpurukan hatinya. Meskipun tak 100%. Tapi, setidaknya, usaha Jae Hyun untuk mempertemukan kembali dirinya dengan Hans sangat ampuh menggugah hati Ji Na hingga⸺hampir⸺sembuh. 

“Yah, aku masih tak menyangka bahwa Jae Hyun berhasil menemukan Hans di Jeju,” jari telunjuk Ji Na terulur,  mengusap gambar Hans.

Percayalah, berkat usaha Jae Hyun untuk menemukannya dengan Hans jugalah yang membuat hubungan Ji Na dengan Jae Hyun membaik. Setidaknya, sejauh pernikahan mereka, tidak ada konflik besar yang berarti. Mereka baik-baik saja hidup berdua di dalam rumah megah mereka ini. 

TING. 

Suara denting yang berasal dari alarm ovennya berbunyi, memecahkan lamunan Ji Na dan membuat langkahnya segera menuju dapur. Kue buatannya sudah matang, ia perlu mengeluarkannya untuk di hias dan dikirimkan kepada pembelinya. 

Oh, ya, wanita itu menjual kue melalui sosial media⸺dibantu promosi oleh Jae Hyun. Orang-orang bisa memesan design kue apapun untuk kemudian Ji Na buatkan. Setidaknya, kegiatan itulah yang ia habiskan sepanjang hari sambil menunggu Jae Hyun pulang dari kantor. 

TAK⸺ “Ya ampun! Aku baru ingat!”

Wanita itu setengah membanting spatulanya ke dalam mangkuk krim. Kepalanya lantas menoleh 90 derajat ke arah jam dinding. 

“Sudah jam 8 dan Jeffrey belum bangun juga, huh?!”

*

Ada satu figura besar berupa foto pernikahan yang dipajang di dalam kamar Jae Hyun. Objek yang mengalihkan seluruh kegiatan hectic pria kantoran itu di pagi hari. Objek yang membuat Jae Hyun terdiam memperhatikan fotonya dengan Ji Na yang terpajang daripada memasang kancing kemeja yang dikenakannya. Setelah 1 tahun, Jae Hyun baru menyadari satu hal. 

“Bukankah kita terlihat terlalu baik-baik saja di foto itu?” Jae Hyun memiringkan kepalanya, berpikir. “Huh, aneh sekali. Yang kuingat, di hari itu kepalaku penuh sekali. Kenapa di foto kita terlihat …bahagia?”

Senyum Ji Na di foto pernikahannya pun terlihat sangat lebar. Padahal, di hari setelah pernikahan itu, Ji Na masih belum berhenti menangisi Yun Oh. Ah, wanita itu tidak mahir menipu. Di pagi hari ia tertawa, seolah baik-baik saja. Tapi, saat malam menjelang, tangisan Ji Na muncul lagi. Ia kembali merengek, merindukan Yun Oh dan berakhir dalam pelukan Jae Hyun. Dalam beberapa bulan pertama, kehidupan pernikahan mereka dipenuhi oleh rutinitas yang seperti itu.

Jae Hyun menghela napasnya. Ia lega. Ia sadar bahwa Ji Na sudah jauh membaik. Tak pernah ada tangisan lagi. Meskipun kedua bahu mereka masih belum kuat. Tapi, mereka membaik. 

“Pernikahan ini baik-baik saja,” Jae Hyun terkejut bahwa mereka mampu melaluinya bersama. 

Proses membaiknya perasaan mereka pun akan sangat panjang jika dijelaskan. Intinya, meskipun tertatih awalnya, kini Jae Hyun dan Ji Na mampu berjalan perlahan bersama-sama untuk melalui masalah ini. 

Kehidupan pernikahannya dengan Ji Na berjalan sangat normal, seperti pada umumnya. Satu demi satu kebiasaan dibangun hingga mereka sangat terbiasa melakukannya tanpa disuruh. Seperti,⸺

TWINS : My First and My LastHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin