Tiga Puluh Satu

101 10 3
                                    

Tangis Ji Na sudah hilang setelah berada dalam dekapan hangat Jae Hyun selama hampir satu jam. Air mata wanita itu mengering, berganti dengan senyum lebar yang ia angkat di kedua sudut bibirnya. Wajahnya yang semula pucat karena tangisannya, kini telah berubah menjadi lebih cerah dan merona; sangat cantik di mata Jae Hyun. Tangannya menghangat, tak Jae Hyun lepaskan sama sekali dari genggaman tangannya yang besar. Intinya, Jae Hyun lega Ji Na jauh lebih membaik setelah dibiarkan menangis selama satu jam.

Debar jantung Jae Hyun pun semakin lama semakin terasa nyaman baginya. Ia menyukainya begitu kedua netranya memandang puas-puas Ji Na. Merekam seluruh aktivitas yang wanita itu lakukan. Padahal, yang Ji Na lakukan tak banyak. Wanita itu hanya memendarkan pandangannya ke sekitar sembari langkahnya beriringan santai dengan Jae Hyun. Bibirnya tak berhenti berceloteh, menceritakan apapun yang pernah ia lakukan di dalam gedung mewah itu dulu.

Ini gila. Aku jatuh cinta pada Ji Na, batin Jae Hyun.

"Kau mendengarku, Jeff?" sampai Ji Na menginterupsi karena Jae Hyun terlihat tidak fokus dengan pembicaraannya.

"A-Oh!" Jae Hyun gelagapan. Ia sadar ia sudah tenggelam terlalu dalam pada definisi mengenai cinta yang baru ia sadari. Dasar gila, batinnya.

"Benar. Kau bicara tentang ruang marketing barusan," hanya itu yang Jae Hyun tangkap. Sisanya, ia sibuk jatuh cinta. Bodoh.

Ji Na mengangguk semangat. "Hm. Hahaha... Karena aku sering hilang di sini, Aku jadi lebih sering bermain di ruang marketingnya. Karena, aku tau, begitu aku ada di ruangan itu, Ayah akan segera menjemputku di sana." Ji Na tertawa sekali lagi, menertawakan kebodohannya.

Dan, Jae Hyun tersenyum semakin lebar, menenggelamkan dirinya semakin jauh pada pesona Ji Na.

"Biasanya Ayah tidak akan pernah kuasa untuk mengomeli aku yang selalu hilang di sini. Eomma yang akan melakukannya. Hahaha... Dia mengomel banyak sekali. Persis sepertimu. Eommaku sangat posesif. Dia pernah sangat marah karena aku tidak mengangkat 5 telephonenya."

Jae Hyun baru sadar. "Aku pernah melakukannya padamu," kekehnya sendiri. Menyadari bahwa ia telah bersikap berlebihan mengenai Ji Na sejak lama.

"Hm. Setelah dipikir-pikir, kau mirip dengan Ibuku," Ji Na menoleh, tersenyum lebar sambil menatap Jae Hyun. "Kau cerewet dan galak. Kau selalu memarahiku setiap tidak mau makan buah. Akhirnya, kau rela mengupaskannya untukku. Padahal seharusnya aku yang melakukannya. Itu kan tugas seorang istri."

Jae Hyun tersenyum. "Tidak ada pembagian tugas seperti itu antara suami-istri," dengan hangat, ia membawa genggaman tangannya dengan Ji Na ke dalam saku celananya. "Aku melakukannya karena aku suamimu. Tidak penting harus tugas spesifik apa."

"Begitu, ya?" Ji Na menambahkan tangan lainnya untuk melingkar di pergelangan tangan kanan Jae Hyun.

Jae Hyun menoleh dan mengangguk.

"Tapi," Ji Na tau-tau menghentikan langkahnya di hadapan Jae Hyun. Tangannya terulur tinggi, mengusap puncak kepala suaminya dengan lembut. "Kau sudah bekerja keras. Kau melakukan tugas dengan sangat baik (Jalhaesseoyo)."

Jae Hyun menatap lurus istrinya. Menikmati debar jantungnya dengan intensitas meningkat. Namun, ia menyukainya. Bibirnya membentuk senyum. Melengkung sangat lebar hingga mencetak kedua lubang cacat di pipinya. Aku benar-benar gila. Aku jatuh cinta padamu, batin Jae Hyun.

Ide jahil pun hinggap di pipinya. Pria itu berdeham sejenak.

"Mana hadiahku?" pinta Jae Hyun, menggodanya sambil menyodorkan pipi.

Ji Na kehilangan senyum. "Aku tidak bawa uang," wanita itu mengusap saku di roknya.

Jae Hyun terdiam. Bukan itu yang dia maksud. "Yah, apapun selain uang juga tidak apa-ap⸺"

TWINS : My First and My LastWhere stories live. Discover now