Tiga Puluh Lima

98 8 2
                                    

“Jatuh cinta itu sebuah perasaan yang tidak bisa didefinisikan agar orang lain bisa mengerti bagaimana yang dirasakannya,” kata Jae Hyun dalam sebuah forum pembicara publik yang ditayangkan di televisi. Sebuah acara yang kini menemani kegiatan Ji Na dalam membuat susunan cupcakes berbentuk bucket bunga di dapur. Acara itu sudah dijalani Jae Hyun sekitar seminggu yang lalu dan baru tayang hari ini. 

“Bahkan, tidak hanya ada satu perasaan spesifik dalam cinta,” kekehan dalam Jae Hyun terdengar di sela-sela pembicaraan seriusnya dari layar tablet Ji Na, “Aku malu membicarakan hal seperti ini, tapi, aku baru menyadari setelah aku menikah dengan Istriku.”

Gerakan tangan Ji Na saat menghias cupcakes berbentuk bunganya pun terhenti sesaat. Wanita itu menoleh ke arah layar tabletnya, terperanggah dengan pernyataan Jae Hyun⸺yang terdengar sangat menghayati; seolah Jae Hyun benar-benar merasakannya di hatinya.

“Bahwa,” Jae Hyun melanjutkan, “jatuh cinta itu adalah perpaduan, campuran dari perasaan bahagia, nyaman, sedih, takut, bahkan amarah dan emosi. Karena, bagiku, mencintai seseorang tidak bisa dikatakan cinta jika yang kita rasakan hanya bahagianya saja, atau sedihnya saja. Semua emosi beradu, bersatu-padu. Membentuk getaran di hati. Poin pentingnya adalah ketika diriku menemukan seseorang yang bisa mengaduk-aduk seluruh emosiku tadi, tapi ajaibnya aku masih bisa mengendalikan diri demi tidak menyakitinya, di saat itulah definisi tentang cinta bekerja.”

Jantung Ji Na brutal. Sangat gila seperti orang yang lebih gila dari orang gila. Pipinya memanas, mencetak blush on alami berwarna kemerahan. Maksudnya, ya, memang yang dinyatakan Jae Hyun adalah pernyataan umum. Tapi, entah kenapa, kalimat pria itu seolah mengarah padanya. 

Dari arah layar lantas terlihat Jae Hyun tertawa dengan suara baritonenya. Disusul suara tawa MC dan para penonton lainnya yang memberikan tepuk tangan. 

“Jadi, kesimpulannya menurutku adalah jatuh cinta itu tidak perlu dipikirkan. Perasaan itu hanya bisa disadari ketika kita menerimanya dengan sangat alami tanpa perlu sibuk mencari alasannya. Apapun yang dibicarakan publik mengenai Istriku, sejujurnya aku secara total tidak peduli, hahaha… Karena, cara mereka melihat Istriku berbeda dengan caraku melihatnya.”

Jae Hyun gila. Apa pekerjaannya dulu sebagai Artis memang bisa membuatnya berdebar selihai ini? Apa Jae Hyun yakin dirinya bukan seorang retoris ulung yang pandai membujuk?

“Hah, aku bisa jatuh cinta juga kalau begini caranya,” Ji Na menghela napas sambil bergumam pasrah dengan suara sangat pelan.

“Jatuh cinta pada siapa?” Suara Jae Hyun terdengar, menampar kewarasan Ji Na agar segera kembali ke logikanya. Pria itu bergabung ke dapur dengan outfit simple dan sangat nyaman pagi ini. 

Dan, di detik Jae Hyun menampakkan diri di hadapan Ji Na di saat Ji Na masih sangat salah tingkah dengan rentetan kalimat luar biasa dari suaminya di televisi, wanita itu jadi terpaku. Ia memandang Jae Hyun penuh pesona. Ternyata Jae Hyun semakin hari semakin tampan, pikirnya. 

“Heh!” Jae Hyun menyahut agak keras, berusaha menyadarkan Sang Istri yang melamun sambil menatapnya dengan tatapan aneh. 

“Hah. Aku membencimu,” Ji Na menggerutu kesal sambil melengos. Ia memutuskan untuk melanjutkan kegiatannya mendesain kuenya daripada meladeni ekspresi wajah Jae Hyun yang berubah total menjadi merengut. 

“Apa-apaan? Tau-tau mengatakan membenci aku?” Protes Jae Hyun tak terima. 

“O. Kau terlihat 180 derajat sangat berbeda antara di televisi dengan di rumah. Kau terlihat mempesona di televisi. Membicarakan ini-itu dan membius semua orang. Huh,” Wanita itu melirik Jae Hyun lagi dari ujung kepala hingga kakinya. “Tapi di rumah penampilanmu sangat…sudahlah.”

TWINS : My First and My LastWhere stories live. Discover now