Lima Puluh Tujuh

112 9 1
                                    

Malam yang panjang bagi Yun Oh. Pria itu hampir tidak bisa tidur nyenyak di tempat barunya⸺rumah Jae Hyun dan Istrinya. Namun, ia tetaplah pria yang disiplin. Yun Oh bangun tepat waktu di pagi hari. Jadi, pagi ini, sambil memasang kaca matanya ia melangkah keluar kamarnya. 

Senyum Yun Oh terangkat begitu ia mendapati Ji Na sudah sibuk memasak di dapur. Wanita itu cantik dengan rambut yang ia kuncir setengah dan rambutnya tergerai panjang melalui bahunya; menutupi sebagian lehernya yang jenjang. 

“Pagi, Ji Na,” sapa Yun Oh ringan sambil tersenyum manis. 

“Yun Oh, selamat pagi,” balas Ji Na riang dengan cengiran lebar di bibirnya. Wanita itu melambaikan tangannya dengan satu bongkah buah persik yang ia genggam, memberi isyarat pada Yun Oh untuk segera bergabung ke dapur dengannya. 

Awalnya, langkah Yun Oh sangat ringan menyambut permintaan Ji Na untuk dihampiri. Namun, beberapa saat setelahnya, ia terhenti sejenak. Gerakan Ji Na yang mengangkat tangannya agak tinggi tanpa sadar membuat rambut panjangnya yang semula tergerai menutupi lehernya pun terkibas ke belakang bahunya. Sesuatu berwarna merah keunguan⸺yang Yun Oh tau jelas tanda apa itu⸺terlihat di sekitar leher Ji Na dan berhasil membuat senyum Yun Oh agak redup. Ia tau tanda kemerahan apa itu. Dan, kini, ia tau arti dibalik terkuncinya pintu kamar Jae Hyun dan Ji Na semalam. 

“Yoksi, Jung Yun Oh,” Suara nyaring Ji Na berhasil memecahkan lamunan mendung Yun Oh. Wanita itu memuji Yun Oh sambil sibuk mengupas buah-buahan. “Kau memang pria yang disiplin dan rajin selalu bangun pagi hari. Tidak seperti Suamiku.”

Mendapat pujian dari Ji Na, Yun Oh pun bisa tersenyum meskipun sedikit. 

“Apa Jae Hyun masih suka bangun kesiangan?” tanya Yun Oh sambil melangkah, menghampiri kursi yang berada di sebrang pantry⸺tempat Ji Na menyiapkan buah-buahan.

“Masih,” jawab Ji Na semangat. “Betapa susahnya membangunkan Jeffrey setiap pagi, huh. Padahal Aboji suka memarahinya kalau ia datang terlambat ke kantor.”

Yun Oh terkekeh. “Dia masih seperti itu rupanya.”

Ji Na mengangkat pandangannya, memandang Yun Oh penuh antusias. “Apa dulu Jeffrey juga begitu?” tanyanya.

Yun Oh mengangguk. “Saat kita masih sekolah di sekolah dasar yang sama sampai sekolah menegah pertama, Jae Hyun selalu jadi bulan-bulanan Eomma karena ia tidak pernah bisa bangun pagi. Kita berangkat bersama setiap sekolah. Dan, aku selalu kebagian jatah menunggunya sampai bangun setiap pagi,” tutupnya dengan tawa. 

Ji Na ikut tertawa. “Benar-benar, Jung Jeffrey. Kau seharusnya meninggalkannya. Biarkan saja dia terlambat masuk.”

“Sudah pernah,” Yun Oh terkekeh. “Dan, dia benar-benar selalu terlambat masuk sekolah sampai Eomma dapat teguran dari guru sekolah kami waktu itu.”

“Benarkah?” Ji Na tertawa terbahak-bahak. “Aku tidak tau soal itu.”

“Jae Hyun tidak mungkin akan menceritakannya padamu.”

“Benar. Dia hanya menceritakan bagian kerennya saja. Dasar.”

Yun Oh tersenyum. Diam-diam menyimak cara Ji Na tertawa. Wanita itu masih sama cantiknya saat tertawa. Wanita itu tertawa begitu bahagia saat Yun Oh menceritakan apapun tentang Jae Hyun. Hatinya meringis nyeri meskipun Yun Oh bahagia melihat tawa Ji Na⸺meskipun, bukan karenanya. 

“Apa kau selalu mengupas buah untuk Jae Hyun setiap pagi?” tanya Yun Oh, melihat beberapa buah yang disusun Ji Na di atas piring. 

“Tidak setiap pagi. Tapi, di pagi-pagi tertentu kalau Jeffrey agak senggang,” Ji Na menatap Yun Oh sejenak, “Aku ingin menawarkanmu buah-buahan ini, tapi kau tidak suka buah-buahan, kan.”

TWINS : My First and My LastWhere stories live. Discover now