Sepuluh

95 15 3
                                    

Tangan Ji Na gemetar begitu ia berhasil membaca satu-persatu artikel yang ditunjukkan Jae Hyun melalui ponselnya. Pertanyaan atas hawa aneh di bandara tadi pun terjawab jelas sekarang. Pantas, Jae Hyun begitu khawatir tadi. 

“L-lalu…apa…yang terjadi setelah ini?” Ji Na mengangkat dagunya, memandang Jae Hyun yang berdiri di hadapannya sambil berkacak pinggang. “Data-dataku tiba-tiba saja ada yang memblokir. Apa ini…ada hubungannya dengan berita ini?”

Jae Hyun menghela napas panjang sejenak. Ia pun mengambil posisi duduk di sisi Ji Na, di salah satu sofa yang terdapat di ruang tengah apartemennya. 

“Biar kubicarakan dulu di kantor,” Jae Hyun berusaha tenang. “Kau di rumah. Jangan ke mana-mana sampai aku pulang. Jangan hubungi siapapun. Aku khawatir seseorang menyadap ponselmu.”

Ji Na mencengkram kedua tangannya yang gemetar. “T-tapi, aku perlu beri tau Ayahku.”

Tangan Jae Hyun bergerak, menggenggam tangan Ji Na saat wanita itu terlihat mulai meraih ponsel dari dalam tas tangannya. 

“Saat ini, ponselmu dalam keadaan mati sudah cukup. Aku juga sudah reset semuanya di sana,” Jae Hyun meraih kembali ponselnya yang masih ada di pangkuan Ji Na dan menyodorkannya pada Ji Na, “pakai punyaku.”

Saat ini, hati Ji Na tergerak dengan sendirinya. Ia mendadak mempercayai Jae Hyun begitu besar. Tatapan dalam pria itu di kedua manik matanya begitu menenangkan. 

“A-apa..tidak apa-apa?” tanya Ji Na ragu.

Jae Hyun terdiam. Ia sendiri tak tau apa tidak apa-apa jika seseorang mulai mendobrak privasinya?

Namun, alih-alih menjawab, Jae Hyun memilih untuk segera beranjak berdiri. Ia merebut kunci mobilnya lagi dan bersiap pergi. 

“Ingat. Jangan pergi ke mana-mana. Tunggu sampai aku pulang.”

Perintah itu terdengar sedikit aneh di antara dua orang asing yang baru mengenal selama beberapa hari. Jae Hyun pun kikuk begitu ia selesai mengatakannya. 

“Aku...pergi dulu,”

Pria itu melesat secepat kilat, meninggalkan Ji Na yang masih termanggu di ruang tengah sambil mencengkram ponselnya. 

*

BRAK!

“Aku harap kau punya alasan kuat atas ini, Jung Jae Hyun?”

CEO agensinya⸺Kim PD-nim⸺melempar beberapa bundle kertas berisi artikel-artikel yang bermunculan mengenai Jae Hyun. Semuanya bernada tidak baik.

Sementara, Jae Hyun hanya merunduk sambil menggenggam kedua tangannya sendiri di depan kakinya. Ada Sung Jin yang duduk di samping kanannya, melakukan hal yang sama. 

Kim PD-nim menghela napas berat. 

“Puncak ketenaranmu itu kan belum benar-benar di puncak. Kau bisa meraih lebih tinggi lagi. Kau yang menginginkannya, membujukku melakukan ini-itu demi kesuksesan karirmu. Kau yang memiliki mimpi semua ini dan kau sendiri yang menghancurkannya. Apa maumu, hah? Jae Hyun-ah?”

“M-maafkan aku, PD-nim,” tutur Jae Hyun. 

Kim PD-nim berdecak. 

“Saham agensiku turun. Tak masalah, Jae Hyun-ah. Tapi, seluruh brand yang akan bekerja sama denganmu mulai membatalkan kontraknya. Dampaknya sangat besar untuk reputasimu. Dan, kuharap kau punya alasan yang kuat atas ini.”

Jae Hyun melirik Sung Jin di sampingnya. Meminta bantuan pria itu.

“Ya, ya,” Kim PD-nim menyambar, “Sung Jin memang sudah mengatakan semuanya. Ia bercerita soal wanita⸺pacar adikmu, atau siapalah itu. Aku sudah tau, dan aku memakluminya. Tapi, apa kau pikir publik akan maklum dengan alasanmu itu, hah? Apa yang akan penggemarmu itu katakan setelah tau Jung Jae Hyun menyembunyikan kekasih dari adiknya sendiri, bahkan sampai menamparnya di rumah sakit?”

TWINS : My First and My LastWhere stories live. Discover now