Enam Belas

87 12 2
                                    

Ji Na merekam seluruh aktivitas yang Ludwig lakukan sebanyak yang ia bisa simpan dalam benaknya. Sambil terduduk di sisi ranjang dengan kaki menjuntai ke lantai, Ji Na membuat netranya begitu sibuk mengikuti seluruh gerak-gerik Ayahnya. Sang Ayah yang super tampan itu terlihat begitu sumringah, mengemasi beberapa pakaiannya ke dalam koper lantaran Ji Na siap akan keluar dari rumah sakit hari ini. 

Sudah beberapa hari ia menginap di rumah sakit. Masih saja tak menyangka bahwa ia dapat kesempatan kedua untuk hidup dan menyaksikan Ayahnya tersenyum begitu lebar pagi ini. Meskipun janggutnya yang lebat menutupi hampir sebagian wajahnya, namun, senyum tampan Ludwig terlihat tanpa penghalang. 

Your brothers will be arriving at 7 p.m.” Ludwig mendekati Putrinya dengan mantel cokelat di tangannya. “Dan, untuk sementara, kita semua akan tinggal di rumah Ho Won sampai hari pernikahanmu tiba.”

Ji Na menggigit bibir bawahnya, membayangkan omelan Chan Sung dan Min Hyun membuatnya bergidik ngeri. 

They won’t nagging you,” Ludwig menangkap sinyal Putrinya, lantas menggodanya sambil menyentilkan jari telunjuknya pada puncak hidung Ji Na dengan gemas. “I promise.”

Mendengar janji Ayahnya, kedua sudut bibir Ji Na pun terangkat naik. 

“Jae Hyun bilang ia ingin membawamu ke suatu tempat sebelum pulang,” Ludwig membantu Ji Na memakai mantel cokelatnya sambil berpesan. “Jangan pergi terlalu jauh, okay? Kau masih harus menghabiskan cairan infus ini sebelum keluar rumah sakit.”

“Ne,” jawab Ji Na patuh sambil terkekeh. “Dad, kurasa kau semakin mahir bicara dalam bahasa campur-campur antara Korea dan Inggris, hahaha…”

Ludwig tertawa. “Terjadi begitu saja setiap kali Ayah menginjakkan kaki di Korea.”

“Tapi, itu bagus, bukan?” selesai dengan urusan mantelnya, Ji Na pun bisa bergerak bebas untuk memeluk pinggang Sang Ayah. 

“Tentu saja bagus,” Ludwig mengusap kedua pipi Putrinya, “Itu bahasa Ibumu. Dan, bahasa utama calon suamimu.”

Senyum Ji Na mendadak memudar begitu Ludwig membahas mengenai ‘calon suami’. Ia tidak kesal dengan keputusan yang harus ia jalani dengan Jae Hyun. Hanya….masih terasa berat menghadapinya. 

“Baby,” Ludwig menegur sikap Ji Na. “Ayahpun berharap ini jadi keputusan yang terbaik. Menikahkanmu dengan seorang pria dalam jangka waktu yang jelas-jelas tertera dalam kontrak, rasanya jahat sekali. Tapi, Ayah harap, Jae Hyun bisa menjagamu dengan baik selama 2 tahun. Selama Ayah memperbaiki ARDNT di Jerman, tak apa kan Ayah titipkan kau sementara pada Jae Hyun di sini?”

Namun, yah, berat bukan berarti Ji Na ingin kabur. Apalagi jika ini keputusan yang terbaik untuk Ayahnya. 

“Aku akan baik-baik saja, Ayah,” Ji Na tersenyum hangat, berusaha meyakinkan Ayahnya bahwa ia tak perlu khawatir. “Putrimu ini ahli taekwondo. Aku bisa patahkan tulang-tulang Jae Hyun kalau dia macam-macam,” Ji Na mengerling, “Aku akan baik-baik saja.”

Ludwig mengangguk sambil menghela napas lega, “Great.”

TOK…TOK…

Ji Na dan Ludwig pun menoleh, mendapati Jae Hyun berdiri di ambang pintu dengan satu kursi roda yang telah ia siapkan untuk membawa Ji Na pergi bersama tiang infusnya. 

“Ow, kalian bisa pergi sekarang,” Ludwig bergerak menggendong Putrinya menuju kursi roda yang dibawa Jae Hyun.

Dari tempatnya duduk, Ji Na menolehkan kepala ke belakang; memperhatikan Jae Hyun yang sibuk mengatur infus dan ketinggian tiang infus di kursi rodanya. 

"Jeffrey," Ludwig bersuara memanggil nama panggilan favoritenya terhadap Jae Hyun. "Titip putriku."

Ji Na mendapatinya, reaksi Jae Hyun saat Ludwig menyampaikan pesan penuh banyak makna itu. Ekspresi Jae Hyun berubah menjadi sigap. Ia membalas pandangan Ludwig tak kalah serius. Lantas, mengangguk siap.

TWINS : My First and My LastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang