Sembilan

90 14 2
                                    

Ji Na menggeret kopernya menuju check in counter dengan langkah ragu. Wanita itu diam-diam memperhatikan sekitar sambil mengernyitkan kedua alisnya. Ada yang tidak beres, batinnya. Entah kenapa ia merasa sebagian orang di bandara tengah memperhatikan gerak-geriknya begitu mengerikan.

Sejatinya, Ia memang pernah muncul di publik saat ARDNT Group masih cukup jaya di Korea beberapa tahun yang lalu. Tapi, sepertinya, tak banyak yang tau juga. Rata-rata orang mengenalnya⸺beserta anggota keluarganya yang lain⸺berada di kalangan pebisnis. Ia dan keluarganya lebih sering muncul di majalah terkait ekonomi. Jadi, mendadak menjadi pusat perhatian begitu banyak orang tentu saja menjadi hal yang sangat aneh bagi Ji Na. Terlebih lagi, ARDNT Group telah bangkrut di Korea. Seharusnya, tak ada yang mengenalnya lagi.

Hawa merinding yang membuat bulu kuduknya meremang pun membuat Ji Na buru-buru merapatkan cardigan rajut hitamnya. Ia mempercepat langkah kakinya sembari membenarkan posisi masker hitam yang menutupi sebagian wajahnya.

Tiba di check in counter, ia menyerahkan berkas-berkas yang dibutuhkan untuk segera bisa masuk ke lounge. Hawa aneh dari sengatan-sengatan tajam orang-orang di sekitarnya membuat Ji Na ingin kabur segera.

"Maaf, Nona. Tiket anda tidak bisa digunakan," seorang staff wanita di balik check in counter menyampaikan informasi yang berhasil membuat Ji Na melotot.

"B-bagaimana tidak bisa? Apa ada dokumen yang kurang?" serobot Ji Na.

"Bukan, Nona. Tapi, tiket Anda tercatat diblokir. Kami menemukan blokiran dari kartu identitas Anda sehingga Anda sementara dilarang untuk pergi meninggalkan Korea."

Hah? Apa staff itu barusan waras?

"Bagaimana bisa begitu? Aku baru pergi ke sini sekitar 3 hari yang lalu. Dan semua masih baik-baik saja. Sekarang aku mau pulang ke Berlin dan kau mengatakan kalau identitasku di blokir?!"

"Maaf, Nona. Tapi dari sistem kami membaca demikian."

Sialan. Sepertinya benar, ada yang tidak beres.

Desas-desus di sekitar Ji Na pun mulai terdengar agak keras. Tanpa menolehpun, Ji Na merasakan bahwa beberapa orang di sekitarnya membicarakan namanya. Entah apa. Ji Na tak dengar. Bahkan, staff wanita di balik counter pun menatapnya penuh gelagat kecurigaan.

"Baiklah kalau begitu," Ji Na merebut kembali dokumen-dokumennya, lantas mengambil langkah secepat mungkin meninggalkan counter. Jika begini, ia harus segera ke kedutaan besar Jerman dulu dan mengurus dokumen lainnya yang mendadak terblokir-atau-apalah kata staff itu barusan.

Namun, semakin jauh langkah Ji Na, semakin keras ia merasakan beberapa orang mengikuti langkahnya. Ji Na melirik sedikit ke belakang, mendapati beberapa kerumunan terlihat mengekorinya. Rasa takut yang menggerogoti jiwanya membuatnya semakin mempercepat langkah. Dan, beberapa orang yang mengekorinya tadi ikut mempercepat langkah.

Maka,

Ji Na melarikan diri.

Ia berlari sekuat yang ia bisa sambil menggeret koper⸺yang untungnya tidak berat.

Degub jantungnya semakin berpacu cepat begitu ia mengetahui bahwa ia dikejar oleh gerombolan-gerombolan orang⸺rata-rata perempuan⸺seperti seorang maniak.

"Sial. Siapa mereka?!" gerutu Ji Na kesal sambil berusaha keras mempercepat larinya.

*

Jae Hyun mengambil langkah besar-besar memasuki bandara. Tangannya sibuk menelphone Sung Jin. Matanya sibuk ia pendarkan ke sekitar bandara, mencari keberadaan Ji Na. Ia berharap tak ada yang menyadari keberadaannya setelah topi hitam, masker hitam dan kaca mata yang dikenakannya.

TWINS : My First and My LastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang