Empat Puluh Satu

87 10 4
                                    

Hujan masih mengguyur walaupun hari sudah berubah gelap. Namun, intensitas hujannya lebih rendah. Sudah tidak ada petir. Sudah tidak ada kilat yang menakuti Ji Na. Hanya hujan yang turun. Meskipun, tetap menakutkan bagi Ji Na. Namun, kali ini, ia lebih dominan mengabaikan hujannya. Kepalanya seolah memilah fokusnya tidak pada hujan, tapi pada kejadian yang Ji Na temui tadi sore. 

Di dalam ruangan meeting yang kedap suara ini. Semua dindingnya cukup tebal dan hanya menyisakan satu sisi kecil untuk jendela. Meskipun tidak terlalu kedap, setidaknya mampu meredam suara hujan. Dan, Ji Na bisa baik-baik saja melamun sambil memperhatikan tiap tetesan hujan yang jatuh membasahi jendelanya. 

Ia ingin membiarkannya meluap kali ini. Ia biarkan Sung Jin melihatnya melamun berjam-jam tanpa tau alasannya. Pria itu pikir, Ji Na melamun karena takut akan hujan dan petirnya. Padahal, ia sibuk berpikir. 

Bagi Ji Na, jatuh cinta lagi setelah kehilangan Yun Oh adalah sesuatu yang cukup menakutkan. Ia menjadi seseorang yang tak semudah itu membiarkan hatinya jatuh pada siapapun yang ia mau. Karena, ia takut, kejadian seperti kehilangan Yun Oh akan terulang kembali. Yaitu, saat dirinya sudah jatuh begitu dalam pada cinta, lalu cintanya pergi begitu saja dan meninggalkan bekas luka yang sangat pedih. 

Bagi Ji Na, ia melihat potensi terluka itu pada Jae Hyun. Sebesar apapun ia menginginkan hatinya mencintai Jae Hyun, sebesar itu pula ia takut akan bekas luka yang akan Jae Hyun tinggalkan setelah mereka bercerai nanti. Setelah Jae Hyun menikahi Crystal. Meninggalkannya yang jatuh cinta sendirian. Ji Na takut, itu terjadi. 

Namun, ia tak sanggup menceritakannya pada siapapun. Juga pada Soo Hwa. Ia takut, orang lain tidak mengerti ketakutannya dan hanya akan menganggap remeh. Yah, tak mungkin juga Soo Hwa begitu padanya. Tapi, ia tetap saja takut.

Benar.

Ji Na menjadi jauh lebih penakut.

Jika dulu, ia adalah tipe yang tidak takut resiko apapun.

Setelah resiko itu satu-persatu Ji Na lewati, kini, ia takut menerima resiko lainnya yang berulang.

“Ji Na,”

Lamunan Ji Na buyar begitu ia mendengar suara agak nyaring dari arah belakangnya. 

Wanita itu membalikkan tubuh 90 derajat ke arah pintu. Ada Soo Hwa di sana, di ambang pintu, dan tengah memperhatikannya dengan ekspresi wajah penuh kekhawatiran. 

“Soo Hwa,” Ji Na tersenyum sangat lemah. “Bisakah kau segera masuk dan tutup pintunya? Suara hujannya mulai terdengar.”

Soo Hwa segera melangkah masuk. Disusul Ten⸺kekasihnya⸺di belakangnya. 

“Hey,” Soo Hwa duduk di hadapan Ji Na, menatapnya seksama. “Ada apa?”

Ji Na terdiam. Ada banyak masalah yang ingin ia ceritakan pada Soo Hwa. Tentang Crystal. Tentang Jae Hyun. Tentang rumah tangganya. Tentang kontrak pernikahannya. Tentang cinta. 

Tapi, akhirnya yang Ji Na lakukan hanya tersenyum dan menggelengkan kepala.

“Sung Jin menelphoneku karena kau diam saja sejak beberapa jam di sini. Belum mau pulang?” ujar Soo Hwa.

Ji Na menggelengkan kepala. “Aku masih takut,” takut dan belum siap bertemu Jae Hyun. “Boleh aku minta peluk sebentar? Biasanya traumanya agak reda kalau sudah dipeluk.”

Soo Hwa pun memposisikan diri, dan segera membawa Ji Na ke dalam pelukannya. 

“Kau dingin sekali, Ji Na,” keluh Soo Hwa sambil merapatkan pelukannya.

“Ini. Berikan jaketku, Honey,” Ten menyahut sambil mengulurkan jaket bomber hitamnya pada Soo Hwa. Dan, Soo Hwa pun segera menyelimutkannya di sekitar tubuh Ji Na.

TWINS : My First and My LastWhere stories live. Discover now