Sebelas

92 15 0
                                    

Ji Na tergeletak di ruang tengah apartemen Jae Hyun selama 3 hari. Ia meringkuk, memeluk lututnya sambil melemparkan pandangannya ke arah pintu. Namun, tidak ada tanda-tanda kemunculan Jae Hyun dari balik pintu utama apartemennya. 

Isi kepalanya kacau sekali. Seluruhnya dominan terisi oleh setiap kalimat yang Jae Hyun ucapkan padanya kemarin. 

“Kau bukanlah manusia yang berharga! Kau bukan malaikat. Kau bukan presiden. KAU BUKAN SEORANG RATU YANG PERLU AKU JAGA!”

“Diam…” Ji Na menggerutu lemah, menutup kedua telinganya dari setiap desibel suara Jae Hyun yang terngiang di kepalanya.

“KAU LAH PEMBUNUHNYA! KAU YANG MENCIPTAKAN SEMUA MASALAH INI, MENGERTI? ANDAI KAU TIDAK ADA, MASALAH INI TIDAK AKAN MUNCUL!”

Kedua mata Ji Na terpejam erat, memeras air mata yang langsung mengalir begitu saja. Ia tersadar, mungkin memang dialah yang harus memecahkan masalahnya. Jae Hyun benar. Sangat benar.

Dddrrrtt….Dddrrtt….

Ponsel Jae Hyun yang ada di atas meja pun bergetar. Menandakan satu telephone masuk dari nomor luar negeri yang Ji Na simpan dengan nama ‘Dad’; Ayah Ji Na. 

D-dad,”

Ji Na menempelkan ponsel itu di telinganya. Menyambung telephone Ayahnya dengan suara sangat lirih; hampir tak terdengar. 

“Honey, listen to me. The situation in Berlin still chaos for ARDNT. We’re trying to solve this problem slowly until everything become safe enough for you to back home. But, Jae Hyun was right to let you stay in there. We’ll be alright. Don’t worry, okay?” 

Satu bulir air mata Ji Na meleleh. Ia begitu ketakutan. Ia sendirian. Dan, ia merindukan rumahnya. 

“Shh…everything gonna be okay. We just need a time,” mendengar isak tangis putrinya, Ludwig berusaha sekuat tenaga menenangkannya. 

Ji Na kehilangan kata-katanya. Yang ia bisa lakukan hanya terus menangis tanpa tau kapan bisa berhenti. 

“Don’t worry. I already met my lawyer to solve this. To get your identity back from that hacker. From now on, you just have to be at Korea with Jae Hyun. I trust him. He won’t hurt you, Darling. I know his parents.”

Ya, mengejutkan memang. Sejak Ji Na menjalin hubungan dengan Yun Oh, rupanya Ayahnya mengenal orang tua Yun Oh yang merupakan mantan kolega perusahaan Ayahnya. Kedua perusahaan itu sempat saling bekerja sama dulu, saat ARDNT masih begitu jaya di Korea. Tak heran jika Ludwig mempercayai Jae Hyun cukup yakin. Meskipun, pria paruh baya itu tak tau bahwasanya Jae Hyun baru saja meninggalkannya sendirian selama tiga hari tanpa kabar di dalam apartemennya sendirian; ketakutan.

“I will call you later. Okay?”

“Hm.”

Ludwig mengerti, meskipun tak pernah ada suara terlalu banyak dari respon putri bungsunya, ia mengerti bahwa Ji Na mendengarkan setiap pesannya. 

“I love you.”

“I love you too, Dad. I’m…i’m sorry for the trouble.”

Isak tangis Ji Na semakin pecah. 

Ludwig menghela napas panjangnya sesaat. “This isn’t your fault, Honey.”

“This is.”

“Sorry, Mr. Ludwig. Mr. Henry has arrived⸺”

Interupsi seorang wanita, Ji Na mengenalnya sebagai suara sekretaris Ayahnya, pun berhasil memotong pembicaraan mereka. Wanita itu menyampaikan bahwa pengacara Ayahnya telah menunggunya di luar ruangan. Ayahnya segera menyetujuinya untuk mengizinkan Mr. Henry memasuki ruangannya. Ia lantas mengembalikan pembicaraannya dengan Ji Na di telephone. 

TWINS : My First and My LastWhere stories live. Discover now