Lima

83 14 0
                                    

Ji Na sibuk mengusap air matanya yang tak kunjung habis di pipinya. Rasanya menjadi semakin perih setelah tamparan Jae Hyun dan usapan kasar yang Ji Na lakukan berkali-kali di sana. Ia ingin berhenti, tapi tidak bisa. Sama halnya seperti ia ingin menghentikan langkahnya, tapi tidak bisa.

Angin berhembus cukup dingin meskipun hari sudah terik menjadi siang. Setelan piyama rumah sakitnya tak bisa membantu menghangatkan tubuhnya sama sekali. Kakinya pun sudah letih setelah berjalan tanpa arah sejauh belasan kilo. Ia hanya tak tau harus ke mana. Korea sudah menjadi asing baginya setelah beberapa tahun tak disambangi.

Yang ia tau hanya jalan menuju pemakaman Yun Oh.

Yang ia punya hanya tempat pemakaman Yun Oh.

Ia tak punya tempat berlindung lainnya.

Ia tak punya siapa-siapa selain seseorang yang berada di balik nisan itu sekarang.

"Yun Oh, kakakmu brengsek," Ji Na menggumam sendirian. Ia biarkan seluruh orang yang berlalu-lalang memperhatikannya dengan heran. Mengiranya sebagai pasien rumah sakit jiwa mungkin.

*

Di sisi lain, Jae Hyun memilih untuk memperhatikan luar jendela mobilnya dengan pandangan kosong. Setelah keributan tadi, Sung Jin menjemputnya dari rumah sakit. Ia pergi begitu saja, meninggalkan bekas kekacauan yang terjadi di sana.

Jae Hyun berusaha mengabaikannya. Meskipun kepalanya ruwet.

"Kau yakin membiarkannya pergi begitu saja, Jae Hyun-ah?" Sung Jin menanyakan kekhawatirannya kembali dari balik kemudi. Nada bicaranya terdengar begitu pelan dan hati-hati.

"Jangan bahas wanita itu lagi," titah Jae Hyun tegas, sambil memejamkan matanya. Ia sudah tau isi kepalanya berkutat di sana, kekhawatirannya sama dengan Sung Jin. Tapi, egonya mendominasi seluruh akal sehatnya. Ia masih tersinggung setengah mati setelah wanita itu mencapnya sebagai pembunuh dengan begitu sembarangan.

"Ani," Sung Jin melirik ke arah kursi di sampingnya sejenak, memperhatikan beberapa tas Ji Na yang tertinggal. "Setelah mengetahui fakta bahwa wanita itu sendirian di Korea. Maksudnya, sudah tidak ada tempat atau keluarga yang bisa ia kunjungi sementara di sini. Di tambah lagi, tas dan dompetnya ada di mobil kita rasanya⸺"

"Hyung," potong Jae Hyun. "Kau baru saja suka dengan perubahan baikku, kan? Kau ingin aku kembali kurang ajar seperti sebelumnya?"

"T-tidak." Sung Jin berdeham kikuk.

"Kalau begitu berhenti bicara tentang wanita itu. Dia mau mati di jalan terserah. Bukan urusanku."

Sung Jin pun tak bisa apa-apa selain menghela napas panjang diam-diam.

"Kasian dia," namun, diam-diam menyindir Jae Hyun.

"Hyung~!"

*

Rumah megah keluarga Jung akhirnya kembali Jae Hyun sambangi setelah beberapa saat melarikan diri. Acara kematian Yun Oh yang sempat digelar dua hari sampai pemakamannya terasa begitu melelahkan bagi Jae Hyun. Sebenarnya, ada baiknya juga waktu itu Ji Na pingsan. Jae Hyun jadi punya alasan untuk kabur⸺ia tak perlu menemui saudara-saudara pertopengan lainnya.

Dari teras rumahnya, terlihat sudah begitu sepi. Sepertinya seluruh tamu sudah membubarkan diri. Jae Hyun mengambil dan menghela napas panjang sejenak, mempersiapkan diri untuk kembali bertemu orang tuanya. Ia tau, kemarin, orang tuanya begitu terpuruk dengan kematian Yun Oh. Rasanya semakin terasa begitu berat saat Jae Hyun sendiri tak tau bagaimana caranya untuk menenangkan mereka.

"Jeffrey," suara berat Ayahnya mendahului persiapan hati Jae Hyun untuk memasuki rumah. Pria berbalut kemeja resmi berwarna hitam itu masih terlihat begitu rapih dengan ikatan dasi warna senada. Meskipun raut wajah Ayahnya terlihat begitu turun, kuyu dan sangat lelah. Tapi, tatanan rambutnya masih rapih membentuk koma.

TWINS : My First and My LastWhere stories live. Discover now