Tiga Puluh Enam

102 9 1
                                    

Luar biasa. Karena, hubungan Ji Na dan Jae Hyun jauh lebih romantis setelah kencan pertama mereka di Gapyeong itu berhasil. Yah, meskipun secara eksplisit Jae Hyun belum menyatakan cintanya pada Ji Na, namun tingkah laku keduanya sudah menggambarkan cinta itu lebih jelas dari sekedar kata-kata. Jae Hyun bahkan hampir tidak peduli apakah Ji Na sudah mencintainya atau belum. Wanita itu sudah tidak pernah protes setiap kali Jae Hyun mencium pipinya, memeluknya atau apapun yang biasanya membuatnya menjerit jengkel. 

Pagi ini, di pagi yang cukup hectic bagi Jae Hyun karena yah, ia kesiangan lagi pagi ini. Sang Istri memilih untuk menikmati paginya dengan santai di ruang tamu. Ia baru saja mengganti air pada vas bunga untuk bunga pemberian Jae Hyun waktu itu. Bunganya masih segar karena Ji Na rutin mengganti airnya, juga sesekali ia masukkan ke dalam pendingin khusus.

Ya, ya, Ji Na tau. Ia mulai menyukai tentang bunga, bahkan menuntut Jae Hyun untuk membelikannya yang lain kalau bunga ini layu suatu saat. Dan, ajaibnya, Jae Hyun menurut . 

“Jangan layu terlalu cepat, hum,” Ji Na menata bunga-bunganya kembali ke dalam vas bunganya. 

“Ji Na,”

Ji Na bahkan mengabaikan Suaminya yang memanggilnya cukup serampangan dari arah kamar. Pria itu menjinjing tas kerja dan tas bekalnya di tangan kanan, sementara sepatu pantofelnya di tangan kiri. 

“Hey,”⸺CUP. 

Tiba di sisi Ji Na, Jae Hyun mendaratkan ciuman singkat di pipi Ji Na. 

“Aku berangkat,” pamitnya tergesa-gesa. Ia bahkan segera meninggalkan Ji Na, menuju pintu keluar.

“Hati-hati menyetirnya. Oh, kau nanti pulang cepat?” Ji Na menyusul langkah Suaminya hingga ambang pintu keluar. “Aku berencana akan pergi sebentar dengan Sung Jin Oppa setelah mengantar kue! Kabari aku kalau kau mau pulang, ya!”

Jae Hyun menuruni kaca mobilnya dan menyembulkan kepala sejenak ke arah Ji Na. 

“Aku juga tidak langsung ke kantor. Hari ini ada kunjungan ke suatu tempat, jadi jangan menunggu kabar pagi ini,” ucap Jae Hyun, lantas ia kembali ke dalam mobil begitu ia mendapat jawaban berupa anggukkan kepala dari Ji Na. 

TIN.

Seolah memberikan salam, Jae Hyun menekan klaksonnya satu kali sebelum menancap gas keluar rumah. 

Sementara, Ji Na pun segera merogoh saku celana panjangnya untuk meraih ponselnya. Jemarinya bergulir hingga menemukan kontak bernama Sung Jin pada layarnya.

“Oppa, Jeffrey sudah berangkat. Kita pergi sekarang?”

“Oke. Aku sudah di perjalanan.”

*

“Aku sama sekali tidak mengerti tentang sepeda. Aku tidak menyangka kalau ternyata membeli sebuah sepeda bisa sama susahnya dengan membeli berlian langka di dunia,” Ji Na membawa punggungnya merosot pada sandaran kursi penumpang mobil Sung Jin. Wanita itu mengeluh, sekaligus lega, karena rencananya untuk memberikan hadiah kepada Jae Hyun akan segera terealisasikan hari ini. 

Sung Jin terkekeh dari balik kemudi. 

“Andai Jae Min tidak memberikan kita rekomendasi sebuah toko terpercaya yang akan mencarikan sepeda merk trek yang langka itu, mungkin kita benar-benar harus pergi ke Amerika untuk membelinya, hahaha…” balas Sung Jin.

“Yang langka dan sialan sangat mahal. Yah! Bayangkan. Satu sepeda itu seharga beberapa unit televisi. Gila,” umpat Ji Na. “Jika saja Suamiku tidak mengidam-idamkan sepeda itu sejak lama, mungkin aku sudah memilih untuk menyerah membelinya.”

TWINS : My First and My LastМесто, где живут истории. Откройте их для себя