Tiga Puluh

82 8 2
                                    

Jae Hyun menggila. Sepanjang perjalanannya menuju tujuannya, kakinya bahkan tak membiarkan mobilnya melaju melebihi kecepatan 80 km/jam. Ia tak rela membuat mereka lebih cepat sampai tujuan, yang artinya, ia harus merelakan genggaman tangan hangat yang ia lakukan dengan Ji Na. 

Yah bahkan, Jae Hyun tersenyum lebar dari detik pertama hingga saat ini. 

    Kepala Jae Hyun menoleh ke arah Ji Na begitu mobilnya berhenti di balik lampu merah. Ibu jarinya bergerak mengusap punggung tangan Ji Na dengan lembut, bermaksud membuat wanita itu menolehkan kepala ke arahnya. 

    Dan, Ji Na menangkap sinyal itu. Ia menoleh, segera setelah Jae Hyun mengusap lembut punggung tangannya. Wanita itu tersenyum ke arah Jae Hyun yang sibuk menatapnya.

    “Apa masih jauh?” tanya Ji Na sambil mengeratkan genggaman tangannya. 

    “Sedikit lagi,” jawab Jae Hyun sekenanya. 

    Jae Hyun menyadarinya. Situasi yang menyelimutinya dengan Ji Na mendadak berbeda. Hawanya terasa lebih hangat dan nyaman sehingga memancing sikap manis yang mereka tunjukkan satu sama lain. Jae Hyun bahkan sangat sadar, bahwa dirinya menggunakan nada sehalus mungkin untuk bicara dengan Ji Na. 

    “Belakangan ini, bukankah kau tidak pernah melepaskannya?” Ji Na memainkan cincin yang terpasang di jari manis Jae Hyun. 

Cincin yang biasanya dipakai Jae Hyun hanya sebagai formalitas belaka setiap kali ia berangkat ke kantor. Begitu sampai rumah, Jae Hyun lebih sering melepaskan cincinnya dan menyimpannya di nakas. Tapi belakangan ini, cincin itu selalu ada di jari manisnya.

    “Hm. Aku takut hilang. Jadi, lebih baik tidak pernah kulepas,” jawab Jae Hyun, mengembalikan eratnya genggaman tangannya dengan Ji Na. Ia menjawab dengan santai sambil membawa mobilnya kembali melaju. 

    Saat ini, entah apa yang dipikirkan Ji Na. Jae Hyun penasaran sekali karena wanita itu terlihat sibuk menatap Jae Hyun. Dari ekor matanya bahkan menangkap kernyitan tipis yang muncul di ujung alis Ji Na; terlihat sedang berpikir. 

    Jae Hyun pun menoleh; memastikan Ji Na baik-baik saja. 

    Kernyitan tipis di ujung alis Ji Na pun sontak hilang begitu pandangannya beradu dengan milik Jae Hyun selama sepersekian detik. Berganti dengan senyuman tipis di bibirnya, dan gelengan kepalanya sebagai jawaban. 

    Saat kembali menoleh ke arah depan pun, Jae Hyun merasakan saat Ji Na membenarkan posisi genggaman tangannya ke atas pangkuannya kembali. Dekapan tangan Ji Na yang lainnya pun bergeser naik, memilih untuk memeluk pergelangan tangan Jae Hyun yang tidak diikat jam tangan. 

    Ngomong-ngomong, berkat kebiasaan Ji Na yang begitu sering menggenggam tangan kanannya sambil mendekap pergelangan tangannya begitu, Jae Hyun jadi ikut mengubah kebiasaannya dalam mengenakan jam tangan. Pria itu memindahkan ikatan jam tangan yang biasanya selalu melingkar di pergelangan tangan kanannya ke pergelangan tangan kirinya. Agar Ji Na bisa mendekap dan memberikan usapan halus di sekitar pergelangan tangan kanannya dengan bebas. 

*

    Mobil yang dikendarai Jae Hyun perlahan menurunkan kecepatannya, berbelok memasuki sebuah kawasan gedung pusat perbelanjaan yang cukup megah. Lokasi ini masih Ji Na hapal di luar kepala. Wanita itu menegak dalam duduknya, condong mendekati kaca jendela demi benar-benar memastikan bahwa ia tak salah tempat. Dulu, itu gedung ARDNT Department Store yang pernah buka dan jaya di Korea. 

    Tubuh Ji Na merinding, gemetar dan siap menumpahkan air mata. Seluruh lokasinya masih sama persis. Bentuk parkirannya, kawasan lobby-nya, bahkan hingga pancuran air di depan lobby-nya masih sama persis. Setelah sekian lama ARDNT bangkrut, Ji Na tak pernah berani menginjakkan kakinya di gedung ini lagi karena telah dibeli oleh seorang miliarder terkaya di Korea.

TWINS : My First and My LastWo Geschichten leben. Entdecke jetzt