3 Perjalanan

309 58 3
                                        

Karena waktu sudah menunjukkan jam delapan malam, dan rencananya rombongan mereka akan berangkat jam sepuluh malam, tidak banyak waktu lagi untuk Letta memilih baju yang akan dibawa. Pun di sana kemungkinan mereka hanya akan membuat acara 'seru-seruan' di penginapan atau jalan-jalan ke pantai.

Cukup satu jam waktu yang dibutuhkan Letta untuk menyiapkan semua keperluannya. Selesai bersiap, Letta keluar dari kamar dan di ruang keluarga terlihat kedua orang tuanya yang tengah menunggu.

Setengah jam kemudian, Letta masih mendengarkan wejangan dari orang tuanya. Belum lagi mamanya yang bersikukuh meminta beberapa nomor telepon temannya yang ikut.

Tepat jam sembilan malam, Ardian terpaksa menghentikan wejangan dari istrinya yang seperti tidak ada habisnya. "Udah, Ma, nanti Letta ditinggal temen-temenya loh. Papa anter Letta dulu ya, Ma. Kalau Mama udah ngantuk, tidur aja duluan." Waktu memang sudah menunjukkan pukul sembilan malam, dan tentunya untuk pulang pergi mengantar Letta ke rumah temannya butuh lebih dari satu jam, maka Ardian meminta istrinya untuk tidak menunggunya.

"Ya udah, ambil tasnya sana, gak banyak kan bawaannya?"

"Satu ransel sama satu tote bag buat cemilan aja kok, Ma. Letta ambil ke kamar dulu ya, Ma, Pa."

Usai Letta keluar dari kamar dengan menggondong tas ransel ukuran tiga puluh liternya, Letta langsung menuju garasi di mana mama dan papanya sudah menunggu.

"Hati-hati, Ta, inget kata Mama. Papa juga nyetirnya hati-hati."

"Iya Ma." Kali ini Letta menjawab bersamaan dengan papanya, lantas mereka berdua terbahak di dalam mobil yang mulai melaju.

***

Di rumah Raga—teman sekelas sekaligus koordinator perjalanan, beberapa orang tengah berkumpul sambil mengurus barang-barang yang akan dibawa dan mendata orang-orang yang belum datang.

Vera yang saat di jalan mendapatkan pesan tidak terduga di aplikasi whatsapp-nya dari Letta, langsung lari begitu memasuki pagar rumah Raga. "Ga. Letta sama Ares jadi ikut!" teriak Vera sambil berlari.

"Iya, Ares tadi telepon gue kok, aman," sahut Raga.

Setengah jam kemudian, semua orang sudah berkumpul, kecuali Letta.

"Ta, lo sampe mana? Semua udah siap ni, tinggal nunggu lo doang." Vera menelepon Letta dengan gelisah.

"Aduh maaf ya, udah deket kok, lima menitan lagi."

"Oke," jawab Vera menutup telepon dan kemudian memberi tahu Raga.
Karena sudah ada kepastian posisi Letta, Raga mengarahkan teman-temannya untuk langsung naik ke bus dan mencari posisi masing-masing.

"Ver, lo naik aja, gue yang nunggu Letta." Ares meminta Vera untuk masuk ke dalam bus, karena merasa dapat lirikan tajam penuh kode dari Bima yang memang sedang PDKT dengan Vera.

Lima menit kemudian, benar saja, sebuah mobil berhenti di belakang bus yang berada di luar rumah Raga. Ares pun menghampiri mobil itu untuk menyapa orang tua Letta yang sudah dikenalnya sejak bayi.

"Om," sapa Ares dari luar pintu mobil sambil membukakan pintu untuk Letta.

"Res, Om nitip Letta ya. Hati-hati kalian." Karena Ardian tahu bahwa putrinya sudah ditunggu sejak tadi, dia pun tidak berlama-lama dan segera memberikan kode agar Letta dan Ares segera masuk ke dalam bus.

"Iya, Om. Hati-hati pulangnya, Om."

"Bye, Pa. Hati-hati di jalan, Pa."

Bergegas Letta dan Ares masuk ke dalam bus. Semua teman-temannya sudah memilih kursi yang paling nyaman menurut mereka. Vera sudah mendapat partner duduk. Siapa lagi kalau bukan Bima yang sedang gencar-gencarnya mendekati Vera. Sambil mendongak melihat Letta, Vera hanya bisa tersenyum dan memberi kode isyarat kalau Bima yang mengajaknya duduk bersama.

Letta melihat sekeliling, sebenarnya masih ada banyak kursi yang kosong. Dari kapasitas 27 orang, bus itu hanya terisi 14 orang, namun kursi-kursi kosong sisanya digunakan teman-temannya untuk meletakkan perlengkapan dan tas-tas mereka. Letta memilih kursi dekat jendela nomor 4 dari depan.

Kali ini Letta pasrah. Karena sahabatnya sudah memiliki teman duduk masing-masing, maka ia akan duduk sendirian sepanjang perjalanan.

Tiba-tiba Letta merasakan seseorang duduk di sebelahnya. Siapa lagi kalau bukan Ares. Kebingungan pun semakin mengusik pikiran Letta. Bukannya cowok ini yang memintanya menjauh? Kenapa malah duduk di sebelahnya, padahal masih banyak kursi lain yang kosong?

Raga berjalan ke depan, menghentikan kegaduhan teman-temannya. "Oke, karena semua udah kumpul dan kita siap berangkat, kita berdoa dulu ya, semoga perjalanan kita lancar, di sana menyenangkan, dan kita kembali dengan selamat sampai rumah masing-masing. Berdoa mulai!"

Semua terdiam, berdoa masing-masing mengikuti arahan Raga.

Pukul sepuluh malam mereka memulai perjalanan, dan diperkirakan akan sampai Ujung Genteng Sukabumi sekitar pukul lima pagi.

Baru kali ini Letta merasa aneh berada di dekat Ares. Ternyata bukan hanya Letta yang merasakannya, Ares pun sedari tadi bingung harus bersikap seperti apa.

"Res, kenapa lo tiba-tiba mau ikut?" Letta mencoba mengakhiri keheningan di antara mereka.

'Ya lo sampe gak makan gitu,' batin Ares. Tapi lidahnya kelu untuk mengatakan itu.

"Pengen ke pantai aja." Justru jawaban ini yang keluar dari mulut Ares.
"Lo bawa cemilan?" Ares masih khawatir karena Letta melewatkan makan siangnya.

"Bawa. Lo mau makan sekarang? Mama bawain buat Lo juga kok." Sambil mengeluarkan kotak makan berisi sandwich dari tote bag yang ditentengnya.

"Nggak, ntar aja. Takutnya lo laper, soalnya kata Raga mungkin kita nggak akan berhenti di rest area. Tidur gih."

"Res, lo nggak pengen ngejelasin permintaan lo tadi di kantin? Jangan bikin gue kebingungan dong. Lo lagi deket sama cewek, trus cewek itu gak suka sama gue ya?"

Ares masih terdiam.

"Atau gue ada salah? Bilang dong, Res." Kali ini Letta menengok ke arah Ares.

Jantung Ares tiba-tiba berdegup kencang. Terlihat dari ekor matanya jarak wajah Letta tinggal beberapa senti dari pipi kirinya. "Nggak enak ngomong di sini, Ta, lagian gue ngantuk." Ares berusaha memejamkan matanya.

Melihat Ares mulai memejamkan matanya, Letta membuang muka ke arah jendela bus. Dan lagi, matanya mulai berkaca-kaca. Setengah mati rasanya menahan air mata itu agar tidak jatuh.

Ares yang belum benar-benar tertidur, menoleh ke kiri, dan dari pantulan kaca terlihat Letta yang tampak menahan tangis. 'Gue udah nyakitin lo ya, Ta?' batin Ares. Tiba-tiba, entah dorongan dari mana, tangan kiri Ares meraih tangan kanan Letta dan menggenggamnya dengan erat.

Kali ini air mata Letta benar-benar lolos, tanpa mampu menoleh ke arah Ares.

Setengah jam sudah Ares menunggu Letta berhenti menangis. Ares mengedarkan pandangannya ke arah teman-temannya yang lain. Hampir semuanya sudah tertidur, kecuali beberapa anak di kursi belakang yang sedang bernyanyi dengan gitar yang mereka bawa.

Ares menjulurkan tangan ke belakang pundak Letta, menarik Letta ke arahnya. Saat ini dia hanya ingin memeluk Letta agar gadis itu bisa bersandar di bahunya dan berhenti menangis.

"Hei,besok matanya bengkak loh, bisa diketawain anak-anak, dikira homesick.Tidur ya."

ALL I WANT IS YOUWhere stories live. Discover now