"Kamu kenapa diem aja, Lu?" tanya Alvin yang mulai merasakan keanehan pada Lulu selama perjalanan pulang.
Lulu masih menatap lurus ke depan tanpa ingin menoleh ke arah Alvin. "Nggak apa-apa."
"Nggak apa-apanya cewek means something kan?"
"Kata siapa?"
"Kata kamu."
"Kapan aku bilang gitu?"
"Pak Ares cerita ke saya."
"Hah?" Lulu kini mengalihkan pandangannya kepada Alvin.
"Iya, Pak Ares sering cerita sama ngasih tips gitu lah, salah satunya ya itu."
'Kenapa sih bawa-bawa Mas Ares melulu?' Rasanya kekesalan di hati Lulu semakin bertumpuk. 'Emang nggak bisa apa dia ngelihat gue sebagai Lulu? Just Lulu.'
Lulu kembali terdiam. Kali ini Alvin membiarkan saja hingga mereka tiba di kediaman Cakrawangsa.
"Makasih ya, Mas. Maaf ngerepotin," ujar Lulu sebelum turun dari mobil. "Mas Alvin mau mampir? Istirahat bentar mungkin." Meskipun Lulu masih diliputi perasaan kesal, tapi ia masih tahu diri dan tahu cara berterima kasih.
"Loh! Lulu, Alvin." Tentu saja Dito mengenal Alvin yang sudah setahun lebih menjadi sekretaris anaknya.
Lulu menoleh ke arah datangnya suara. Tampak ayahnya sedang berjalan mendekat.
Alvin yang cukup kaget dengan kehadiran Dito—komisaris utama perusahaan-- sekaligus pemegang saham terbesar—langsung melepas seat belt-nya dan turun dari mobil untuk menyapa.
"Malam, Pak Dito."
"Malem, Vin. Kalian dari mana? Kok bisa bareng?"
"Tadi Lulu main ke tempat Evan, kebetulan ada Mas Alvin lagi jengukin juga," jawab Lulu.
"Kok kamu nggak bawa mobil sendiri? Ngerepotin Alvin aja mesti nganter ke sini. Kan jauh, Lu."
"Nggak apa-apa kok, Pak. Maaf nganternya kemaleman, tadi kami mampir makan malam dulu sebentar," ucap Alvin.
"Masuk dulu, Vin. Istirahat dulu, kalau mau nginep juga nggak apa-apa kok, ada kamar tamu."
"Saya langsung pamit aja, Pak. Udah terlalu malam."
"Ya udah kalo gitu. Makasih ya Vin udah nganter Lulu."
Alvin masuk ke mobil setelah mengangguk singkat kepada Lulu dan ayahnya.
***
Di muka bumi ini ada bunga yang mekar hanya beberapa jam saja, salah satunya adalah bunga Wijaya Kusuma. Bunga ini mulai mekar pukul sembilan atau sepuluh malam, sempurna merekah saat tengah malam, dan layu saat matahari terbit. Begitulah perasaan Lulu saat ini. Berbunga sesaat, lalu layu.
Selama ini ia tidak pernah menyesali hidupnya sebagai keluarga Cakrawangsa. Ia memiliki keluarga yang hampir bisa dikatakan sempurna, harta yang mencukupinya bahkan berlebih. See? Tidak ada yang perlu ia sesali. Tapi kenapa kini rasanya titel keluarga Cakrawangsa itu membawa beban tersendiri untuknya?
Lulu masih berguling di kasurnya tanpa bisa memejamkan mata, hingga sebuah pesan dari Alvin muncul di layar ponselnya.
Alvin: Saya sudah sampai apartemen ya Lu
'Wait! What? Ngapain dia lapor? Aaarggh kenapa sih giliran aku suka sama cowok, mesti orangnya lempeng kayak dia,' gumamnya.
Aludra: Ok
Sebenarnya Lulu ingin memperpanjang pesannya. Mungkin ia bisa mencoba menyampaikan terima kasih karena sudah mengantar, tapi ia takut hatinya akan semakin terluka kalau lagi-lagi Alvin mengatakan alasannya mengantar adalah karena ia adik seorang Antares yang juga merupakan atasannya.
Alvin: Saya ada salah ya?
Aludra: Tenang aja, Mas Alvin ada salah pun, aku nggak bakal lapor ke Mas Ares
Kali ini bukan pesan yang menjadi balasan dari Alvin, melainkan panggilan telepon. Lulu seketika duduk bersandar pada head board ranjangnya dan mengatur napasnya.
"Ya," jawab Lulu singkat.
"Lu, kok kamu ngomongnya gitu?"
"Gitu gimana? Perasaan aku cuma ngomong 'ya' doang deh," pancing Lulu.
Terdengar helaan napas berat dari Alvin. "Bukan itu, Lu. Tadi di chat kamu ngomongnya gitu, kenapa?"
"Aku nggak ngomong di chat, cuma ngetik aja."
"Iya, Lu, iya." Alvin mencoba bersabar menghadapi Lulu yang sedang merajuk. "Saya nggak akan tahu kalau kamu nggak ngomong salah saya di mana."
Lulu masih terdiam, sulit untuknya mengatakan apa salah Alvin karena sebenarnya itu bukan kesalahan, hanya saja hati Lulu terlanjur karam sebelum berlayar.
"Lu, udah mau tidur?"
"Mau, tapi nggak bisa."
"Kenapa?"
"Nggak apa-apa, mungkin aku aja yang terlalu baper."
"Malam ini akan ada dua anak manusia yang nggak bisa tidur. Satunya karena menyimpan kekesalannya sendiri, dan yang satunya karena menerka-nerka apa kesalahannya."
Jarak Alvin dan Lulu terpisah belasan kilometer, namun rasanya Lulu bisa membayangkan Alvin mengucapkan kalimat itu di depannya, dan jangan tanyakan bagaimana rona wajah Lulu saat ini!
"So? Biar dua anak manusia ini bisa tidur, kasih tau dong apa salah saya," rayu Alvin pantang menyerah.
"Mas Alvin nganterin aku pulang karena aku adeknya Mas Ares. Mas Alvin nggak ngelihat aku sebagai 'Lulu'."
"Astaga ... nggak gitu maksud saya, Lu." Alvin menghela napas, ia tidak menyangka Lulu marah padanya karena hal itu. "Maaf ya kalo kata-kata saya nyinggung kamu. Tapi beneran saya mau nganterin kamu, mungkin tadi saya terlalu panik karena kamu udah mau pesen taksi buat pulang."
Lulu masih terdiam, ini pertama kali perasaannya diacak-acak seorang lelaki.
"Lu, gimana biar kamu mau maafin saya?"
"Hmm ... pertama, aku nggak mau Mas Alvin ngomong formal gitu ke aku. Kedua, besok anterin aku ke toko buku. Itu juga kalo Mas Alvin nggak ada janji."
"Iya, ok, besok say ... aku anterin kamu ke toko buku."
"Tapi aku nggak mau kalo Mas Alvin nganterin aku karena aku adek Mas Ares."
"Iya, aku nganterin kamu karena kamu."
"Ada yang marah nggak kalo besok Mas Alvin jalan sama aku?"
"Hmmm ... ada sih kayaknya, besok aku izin dulu biar nggak marah."
"Hah?"
"Udah ya, udah bisa tidur kan sekarang. Malem, Lu."
Lulu menatap layar ponselnya yang sudah kembali ke wallpaper yang dipasangnya. Panggilan dari Alvin telah berakhir dan lelaki itu justru membuat Lulu tidak bisa tidur. "Siapa yang marah kalo aku jalan sama dia?"

YOU ARE READING
ALL I WANT IS YOU
RomanceKata orang, tidak mungkin ada persahabatan tanpa rasa cinta di antara laki-laki dan perempuan. Mungkin itu benar. Nyatanya Antares Cakrawangsa tiba-tiba saja jatuh cinta pada sahabatnya sejak bayi. Orang bilang, long distance relationship itu tidakl...