Pernahkah Lulu merasa segelisah ini selama hidupnya?
Sepertinya tidak.
Walaupun semua lampu di kamarnya telah dimatikan, dan sebelumnya ia telah meminum segelas susu hangat yang menurut penelitian bagus sebagai pengantar tidur, nyatanya ia tidak juga bisa memejamkan mata. Besok adalah hari di mana Alvin membuat keputusannya.
Entah jam berapa ia baru bisa memejamkan mata dan tak lama kemudian alarm dari ponselnya bebunyi nyaring, membuatnya kembali terbangung dengan kepala yang terasa berat.
Lulu mengecek ponselnya, Alvin belum juga menghubunginya. Ia benar-benar tidak tahu jam berapa nanti Alvin akan menghubungi dan mengatur janji temu dengannya. Selagi ia terkurung dalam kegelisahannya, Lulu memilih keluar dari unit apartemennya untuk mencari sarapan.
Melihat penampilannya yang hanya mengenakan piama tidur dari pantulan kulkas, Lulu kembali ke kamarnya, meraih cardigan yang ia gantung di belakang lemari, kemudian beranjak pergi.
Lulu terbelalak kaget saat baru saja membuka pintu unit apartemennya dan menemukan Alvin yang berdiri dalam diam. "Mas Alvin? Kok nggak bilang kalo ke sini?"
Alvin menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Ia kemudian mengangkat plastik yang ada di tangannya. "Sarapan. Tadi kubeliin di warung nasi uduk yang kamu suka banget di depan jalan sana."
"Oh, kebetulan," jawab Lulu yang langsung membuka pintu apartemennya lebih lebar, memberikan ruang untuk Alvin masuk ke dalam.
Alvin langsung menuju dapur, dengan cekatan mengambil dua piring dan dua sendok, kemudian menata dua bungkus nasi uduk yang dibelinya di atas piring masing-masing.
Sementara Lulu berinisatif untuk membuatkan teh hangat.
Keduanya lalu menikmati sarapan dalam keheningan. Tidak ada yang berbicara. Masing-masing seakan larut dalam berbagai macam pikiran yang mengganggu.
Sesekali Alvin melirik ke arah Lulu. Hati dan otaknya saat ini seperti sedang beradu.
"Mas."
Alvin yang mendengar panggilan Lulu langsung menoleh.
"Mas Alvin ke sini cuma mau ngajak sarapan apa mau ngasih jawaban?"
Alvin terdiam. Niatnya yang semula sudah bulat kini kembali gamang ketika sudah berhadapan dengan wanita itu.
"Lu, aku mau nanya dulu sama kamu." Setelah menghela napas, baru Alvin melanjutkan, "Kamu bahagia kan sebelum kenal sama aku?"
Lulu berpikir sesaat. Dia selama ini memang relatif tidak punya masalah dan kesedihan berlebih, kecuali saat ia tidak jadi ikut olimpiade matematika karena terserang demam berdarah.
"Ya ... bahagia sih."
Atau sebenarnya hidupnya ini datar? Lulu jadi bingung sendiri mendefinisikan hidupnya. "Tapi sejak kenal Mas Alvin, aku jadi lebih bahagia dari biasanya."
"Kok bisa sih Lu kamu suka sama aku? Aku ini bukan siapa-siapa. Hidupku lebih banyak pas-pasannya dibanding lebihnya." Ingatan Alvin kembali ke masa-masa sekolah dan kuliahnya. Di mana ia harus mencari pekerjaan sampingan agar ibunya tidak kerepotan membiayai ia dan dua adiknya.
"Aku juga bukan siapa-siapa tanpa nama belakang Cakrawangsa, Mas," jawab Lulu. Ia memang tidak pernah merasa spesial. Dibanding menyombongkan apa yang ia miliki, ia lebih memilih mensyukurinya. Kalau tanpa nama Cakrawangsa, mungkin ia tidak bisa mendirikan yayasan sendiri, kalau pun bisa, berkembangnya tidak akan secepat dan sepesat sekarang.
"Beberapa hari lalu, setelah kamu pulang dari nemuin Pak Ares, Pak Ares cerita."
Mata Lulu membuka sempurna. "Tentang?"
"Tentang pertanyaan kamu ke Pak Ares, tentang kebingungan kamu yang membuat Pak Ares ikut bingung."
"Maaf, Mas. Aku nggak bermaksud cerita macem-macem ke Mas Ares. Aku ... waktu itu aku ke sana cuma karena aku kangen sama Mas Alvin. Jadi pas ketemu Mas Ares aku malah bingung mau ngomongin apa. Mas Alvin tersinggung?"
Alvin menggeleng. Ia justru berterima kasih karena kekhawatirannya sudah disampaikan Lulu yang ternyata memiliki kekhawatiran sama.
"Aku paham kok, Lu. Kalau kita menjalin hubungan, pasti kamu khawatir nggak dapet restu, dari kakakmu, dari orang tuamu, belum lagi dari keluarga besarmu."
"Tapi bukan berarti pasti nggak direstuin, Mas. Mas Ares sendiri yang bilang kalo dia bakal bantuin, selama syarat yang dia ajuin bisa dipenuhi. Lagian setauku orang tuaku bukan orang yang mengukur kebahagiaan dari materi deh."
"Tapi setiap orang tua pasti mau anaknya dapet yang terbaik."
Entah kenapa pembicaraan mereka ini membuat Lulu berasumsi kalau Alvin sedang berupaya menggiring obrolan mereka menuju sebuah kesimpulan, dan ... sepertinya bukan yang ingin Lulu dengar.
Lulu memilih diam. Pun dia tidak tahu harus berkata apa lagi, setelah asumsi-asumsinya mulai menggerus pikirannya.
"Lu, dengan kondisiku yang sekarang, akan bener-bener berat memperjuangkan hubungan kita."
"Ok, aku udah nangkep apa jawaban Mas Alvin," ucap Lulu dengan nada dingin.
"Dengerin dulu, Lu." Alvin mulai terlihat frustrasi saat Lulu berdiri dari duduknya.
"Nggak apa-apa, Mas. Aku udah tau kok apa keputusan Mas Alvin. Nggak perlu diterusin."
Alvin meraih tangan Lulu. Dengan pelan ia menarik Lulu agar kembali duduk di sofa yang semula ditempatinya.
"Lu, perasaanku nggak perlu kamu raguin. Aku sayang sama kamu. Aku nggak tau kapan mulainya aku jatuh cinta sama kamu. Tapi ... saat ini aku belum pantas ada di sampingmu."
"Aku juga nggak minta nikah besok, Mas."
"Aku tau. Tapi nggak fair buat kamu kalo mulai dari sekarang aku ngiket kamu di sebuah hubungan, meskipun itu berlabel pacaran, selagi sebenernya kamu punya kesempatan untuk dapet orang yang lebih baik dari aku."
***
"Baik-baik di sana. Belajar yang bener, jangan macem-macem." Ares memeluk adiknya yang akan melanjutkan S2 di Singapura itu dengan rasa khawatir.
Orang tua mereka sudah lebih dulu check in karena berniat mengantar Lulu sampai Singapura sekaligus quality time berdua.
"Iyaaa. Lulu udah dewasa kali, Mas," jawab Lulu sambil berdecak kesal.
"Mas, pegangin Evan dulu, Mas. Aku mau ngomong sama Lulu berdua," ujar Letta sambil menyerahkan Evan yang semula ada dalam gendongannya kepada Ares.
Ares menerima Evan yang sudah merentangkan tangan padanya dengan senang hati.
Setelahnya, barulah Letta menarik Lulu menyingkir. Di salah satu sudut, Letta memeluk Lulu sambil menepuk-nepuk pelan punggungnya. Dalam diamnya Letta menyadari kalau saat ini Lulu sedang menangis.
"Nangis aja mumpung ada aku doang. Jangan sampe Ayah, Mama, sama masmu ngelihat. Nanti mereka makin khawatir sama kamu."
"Kamu nggak khawatir sama aku?"
"Dikit," jawab Letta sambil terkekeh. "Kamu nanti kan di sana dapet pacar lagi, jadi jangan terlalu dipikirin yang di sini."
"Kamu pikir aku segampang itu jatuh cinta."
"Sebenernya kamu udah jatuh cinta sama dia dari kecil."
"Hah?" Lulu merenggangkan pelukannya. "Siapa?"
"Buku," jawab Letta santai.
Lulu mendengus kesal mendengar candaan Letta.
"Sering video call, sesekali pulang, kan cuma Singapura doang. Jangan sampe pas nanti kamu udah lulus terus balik ke sini, Evan nggak kenal lagi sama tantenya."
Keduanya kembali ke tempat Ares dan Evan menunggu, setelah Lulu benar-benar menuntaskan tangisannya.
Lulu baru masuk ke dalam area check in setelah puas menghujani pipi Evan dengan kecupan-kecupannya.
***
Dari kejauhan Alvin hanya bisa mengucapkan selamat jalan kepada Lulu dalam diamnya sambil menghela napas berat. "Bye, Lu."

KAMU SEDANG MEMBACA
ALL I WANT IS YOU
RomansaKata orang, tidak mungkin ada persahabatan tanpa rasa cinta di antara laki-laki dan perempuan. Mungkin itu benar. Nyatanya Antares Cakrawangsa tiba-tiba saja jatuh cinta pada sahabatnya sejak bayi. Orang bilang, long distance relationship itu tidakl...