125 Jadi Tambah Rumit?

111 27 1
                                        


"Bisa nggak, Ta, kalo kamu coba ngerayu Mama?" Ares berpikir mungkin saja mamanya bisa luluh kalau Letta yang bicara. Bukan tanpa alasan, kadang Ares merasa mamanya lebih sayang kepada Letta daripada dirinya.

"Gimana kalo aku coba ngomong ke Ayah dulu, biar dapet dukungan. Kan senggaknya tadi Ayah bilang nggak masalah kita beli rumah di mana."

Ares berpikir sesaat. "Iya, gitu juga boleh. Trus Papa gimana?"

"Papa orangnya keras, Mas. Coba ngomong ke mamaku dulu kali ya. Biasanya Papa lebih nurut sama Mama."

"Besok pagi mampir ke Bintaro dulu yuk. Mumpung pagi biasanya Papa olahraga di taman, jadi kita bisa ngomong sama Mama." Ares tidak bisa menunda permasalahan rumah lebih lama lagi. Ia ingin segera memberikan kehidupan yang layak untuk istrinya, walaupun sekarang juga mereka sudah hidup layak. Ia hanya khawatir kalau dibiarkan makin lama, akan menjadi masalah besar.

Letta mengangguk mengiakan.

"Selasa Ayah ada rapat BoC di kantor, kamu bisa ke kantor buat ketemu Ayah?" tanya Ares lagi.

"Kuusahain deh, Mas. Nanti aku bilang ke Pak Dewo."

"Tidur yuk, biar besok nggak kesiangan ke kantor, nggak tau kan nanti di Bintaro pembicaraan kita bakal lancar apa nggak."

Seperti yang direncanakan Ares, pagi-pagi sekali mereka berpamitan kepada kedua orang tua Ares. Mira dan Dito sempat kebingungan melihat mereka berpamitan bahkan sebelum sarapan pagi. Letta berhasil meyakinkan orang tua Ares bahwa ada barangnya yang ketinggalan.

Keduanya tiba di kediaman orang tua Letta saat papa Letta sedang olahraga di taman kompleks.

"Loh, kalian?" Aulia yang sedang membuat bolu karamel di dapur terlihat cukup kaget melihat anak dan menantunya di hari senin pagi.

"Ma, Mas sama Letta mau ngomong bentar sama Mama."

"Kalian kok bikin Mama takut sih."

"Nggak kok, Ma, cuma mau minta bantuan Mama aja." Ares dan Letta mengapit mama Letta untuk sejenak meninggalkan dapur dan beranjak ke ruang makan.

"Bantuan apa?" tanya Aulia penasaran.

"Masalah rumah, Ma." Ares mulai menjelaskan. "Sebenernya udah ada rumah yang kami taksir, tapi lokasinya di daerah Menteng, yang nggak terlalu jauh dari kantor. Bukannya kami nggak mau tinggal di deket sini, Ma. Tapi ... Ares khawatir sama Letta, Ma. Takut Letta kecapekan, apalagi nanti kalo Letta mulai promil, kan nggak boleh capek-cepek."

Letta ternganga, tidak menyangka Ares lagi-lagi membawa namanya, dan bahkan membawa-bawa 'promil' yang belum pernah mereka bicarakan sebelumnya.

"Kalian mau promil? Baru beberapa bulan kan kalian nikah, jangan terlalu dipikir. Nanti kalo udah waktunya bakal dikasih kok."

"Iya, Ma, maksudnya ... Ares takut Letta kecapekan aja."

"Jadi kalian mau minta Mama bilang ke Papa buat ngebiarin kalian milih rumah di mana pun lokasinya."

Ares dan Letta mengangguk berbarengan.

Aulia menghembuskan napas berat. Bernegosiasi dengan suaminya bukan lah hal yang mudah. Sering kali suaminya mengalah padanya. Namun tak jarang juga suaminya tidak bisa digoyahkan, seperti waktu suaminya ingin menjodohkan Letta dengan Ezra.

"Nanti Mama coba, tapi Mama nggak bisa janji ya. Kalian juga mesti ngomong sendiri, yakinin Papa."

"Iya, Ma, nanti kita juga bakal ngomong sama Papa, tapi paling nggak, kalo kita dapet dukungan dari aMma kan rasanya lebih enteng gitu, Ma," ucap Letta.

"Oh iya satu lagi, Ma."

"Apa lagi?"

"Mama ... maksud Ares, mama Ares pengen kita nyari rumah di Pondok Indah. Kali aja Mama bisa bantuin ngomong juga, kan sahabat biasanya lebih bisa saling ngerti." Ares terkekeh. Tiba-tiba saja ide itu melintas.

"Astaga ... Mira lagi pengen manja-manjaan aja sama kamu, Res. Kamu kan udah terlalu mandiri dari kuliah. Lulu di Bandung." Aulia menggeleng-gelengkan kepala, makin banyak saja tugasnya.

Ia sendiri tidak pernah keberatan anak-anaknya jauh darinya setelah berkeluarga. Dulu, saat anak-anaknya masih remaja, mungkin ia over protektif, tapi setelah anak-anaknya ada yang menjaga, dan ia yakin kedua menantunya adalah orang-orang yang akan menjaga anak-anaknya dengan sepenuh hati, tidak ada alasan baginya untuk mengatur dan mengekang anak-anaknya lagi.

***

"Siang, Pak," sapa Alvin, sekretaris Ares begitu melihat Dito yang sudah diketahuinya sebagai Komisaris Utama PT Cakrawangsa sekaligus orang tua dari bossnya.

"Siang, Vin. Ares ada?"

"Ada, Pak. Ada Bu Letta juga di dalam."

"Menantu saya ada di dalem?"

Alvin tersenyum dan mengangguk, kemudian bergegas berjalan terlebih dulu untuk mengetuk dan membukakan pintu ruangan Ares.

"Kamu di sini, Ta?" tanya Dito begitu melihat anak dan menantunya sedang menikmati kopi di bar stool yang ada di dalam ruangan Ares.

"Iya, Yah."

Keduanya berdiri menyambut orang yang sedang mereka tunggu dari tadi.

Dito yang bisa mengendus rencana mereka langsung mengambil posisi duduk di sofa one seater. "Ada yang mau diomongin sama Ayah?"

"Iya, Yah," jawab Ares.

Letta menatap Ares meminta persetujuan. Setelah Ares mengangguk, Letta baru mulai bicara, "Mas sama Letta mau minta tolong ke Ayah. Masalah rumah, Yah. Sebenernya udah ada rumah yang kita suka, tapi di daerah Menteng, Yah."

"Loh, terus? Ya udah, buruan diurus. Nggak mungkin harganya kelewat mahal kan? Ayah tau Ares mampu kok."

"Bukan, Yah. Kan Mama kemaren bilang pengen kita nyari rumah di Pondok Indah. Maksud Letta ... bukannya kita nggak pengen deket sama orang tua, Yah. Tapi kalo bisa Letta sama Mas pengen yang deket kantor, Yah. Kalau boleh, Letta mau minta tolong sama Ayah buat bantuin ngomong sama Mama."

"Belum lagi papanya Letta pengen kita nyari rumah di Bintaro, Yah. Daripada nggak adil kan, Yah," tambah Ares.

"Oooh, pantesan, tadi papanya Letta telepon Ayah, nanti weekend keluarga kita kumpul ya. Kayaknya ngomongin ini deh. Kalian belum ditelepon?"

Letta dan Ares menggeleng kemudian saling tatap. "Ini nggak jadi tambah rumit kan, Mas? Nanti kalo mama Mira berantem sama Papa gimana?"

ALL I WANT IS YOUWhere stories live. Discover now