Letta mengurus administrasi saat mereka tiba di sebuah penginapan dengan model ecolodge.
"Nggak apa-apa ya, Mas, begini penginapannya, nggak ada hotel bintang lima di sini. Ini juga udah aku pilih yang paling bagus di sekitar sini."
Ares merebahkan tubuhnya di atas ranjang. "Yang penting kasurnya nyaman buat kita ngapa-ngapain."
Decakan pelan keluar dari mulut Letta, kenapa suaminya jadi sebegitu mesumnya sejak nikah, apa memang semua cowok seperti itu?
"Mandi dulu sana, Mas."
"Bareeeng," rengek Ares.
Letta terperangah. "What?"
"Why? Udah ngelihat semuanya juga."
Ares mendekat ke arah Letta, memeluknya, dan mengusap punggungnya dengan lembut. "Mau ya? Mas kurangi satu ronde nanti malem deh."
Letta tidak bisa berkata-kata lagi melihat betapa persisten suaminya.
Ares membuktikan ucapannya. Ia tidak membiarkan Letta mandi dengan tenang. Sentuhannya pada akhirnya mampu membuat Letta ikut menikmatinya. Keduanya baru menyelesaikan prosesi mandi itu setelah benar-benar merasa perlu bersih-bersih akibat perjalanan panjang dan penyatuan mereka.
"Aku mau nanya deh, Mas." Letta masih memilah baju mana yang akan dia kenakan untuk tidur, yang tidak terlalu menggoda suaminya. Entah apakah dia bisa trekking dengan nyaman keesokan harinya kalau Ares benar-benar melaksanakan ucapannya.
"Apa, Sayang?"
"Kamu kan dulu sering traveling juga, naik gunung bahkan, kenapa sekarang protes sih sama perjalanan gini doang?"
"Dulu kan sama temen, sekarang sama kamu, beda lah. Aku pengennya tu berduaan aja di kamar."
"Nggak seru amat." Letta mendengus membayangkan bulan madunya yang hanya dihabiskan di dalam kamar.
"Ya kita ganti-ganti gaya biar seru."
Letta dengan refleks melemparkan handuk yang semula membelit kepalanya untuk mengeringkan rambut. "Kurang-kurangin deh Mas mesumnya."
Ares terbahak melihat wajah Letta yang begitu gampangnya merona merah.
"Jadi besok kita berangkat jam berapa?" tanya Ares.
"Jam empat kita harus udah berangkat sih Mas kalo nggak mau kesiangan. Kan mau lihat sunrise di atas danau. Soalnya perjalanan dari sini ke pintu gerbang Kelimutu butuh sekitar setengah jam naik mobil. Belum trekking."
"Sayang—" Ares menghembuskan napas perlahan. "Di mana-mana tu ya, yang namanya pengantin baru itu, jam empat pagi saatnya 'serangan fajar'."
"Serangan fajar? Udah kayak pemilu aja ada serangan fajar," ledek Letta.
"Kalo Mas nggak mau bangun gimana?" tantang Ares.
"Ya udah, aku berangkat sendiri, minta temenin Pak Herdi. Gimana?"
Tatapan tajam Ares seketika membuat Letta terdiam. Ares marah?
"Kita udah sampe sini loh, Mas, masa nggak lihat sunrise di Kelimutu." Letta mendekat ke sisi Ares dan mulai mengecupi wajahnya. "Percaya sama aku, nggak bakal nyesel deh."
Ares masih menampakkan muka kesalnya, meskipun sambil menahan geli yang diakibatkan kecupan Letta.
"Gini deh, Mas, kita nambah hari buat bulan madu, gimana? Kita bisa extend di Bali dulu habis dari Labuan Bajo. Atau kamu mau atur bulan madu kedua kita? Aku nurut deh."
Senyuman jahil mulai muncul di wajah Ares. "Bulan madu ulang ya."
Letta menghela napas. "Iya ... terserah kamu, tapi nanti kerjaan kamu keganggu nggak?"
"Nanti diatur waktunya, pas lagi nggak ada tender atau proyek."
Letta mengangguk-angguk, sebelum teringat ada sesuatu yang ingin ditanyakannya. "Mas—"
"Hm?"
"Kamu itu kelamaan puasa ya? Kata Mama, kamu itu nggak pernah nyentuh cewek, jadi gini deh kelakuannya."
"Aku nyentuh cewek kok, nyium juga."
"Tapi kata Mama—" Raut wajah Letta menampakkan kekecewaannya.
"Aku nyium Mama sama Lulu kan. As family lah," ucapnya terkekeh.
Letta menarik hidung Ares yang mancung karena kesal. "Kenapa dulu kamu nggak nyari cewek lagi sih Mas waktu nggak ada aku?"
"Maunya cuma sama kamu kok. Trus Mama bilang apa lagi?"
Letta menggeleng. "Jadi, cuma aku dong yang pernah nyentuh ini?" Jemarinya mulai meraba permukaan bibir Ares.
"Iya, Sayang, cuma kamu. Kamu yang pertama dan semoga yang terakhir." Satu senti sebelum Ares berhasil mencapai bibir istrinya yang kini menjadi candunya itu, seseorang mengetuk pintu kamar.
Ares menghela napas, menahan kekesalannya. "Aku tadi pesen makan malam biar kita nggak perlu keluar. Kamu masuk kamar mandi dulu gih."
"Kenapa aku mesti masuk kamar mandi?" Letta bertanya-tanya.
"Kan nggak tau yang nganterin makanannya cewek atau cowok, Sayang. Aku nggak mau istriku yang berpakaian begini—"
Belum sempat Ares melanjutkan kalimatnya, Letta sudah berlari menuju kamar mandi.
***
Meski berat, keduanya bisa memaksakan tubuh yang letih itu untuk bersiap sebelum jam empat pagi.
"Nggak marah kan, Mas? Semalem kan udah dikasih jatah." Letta memasang tampang memelasnya.
Ares tersenyum. "Nggak kok, sebenernya sekarang jadi excited sih. Ini danau yang ada di gambar uang lima ribuan jadul itu kan, Ta? Aku mana pernah kepikiran bisa sampe ke sini kalo nggak karena kamu."
Dalam kegelapan, mobil yang dikemudikan supir bernama Herdi itu menembus jalanan berliku untuk mencapai gerbang Danau Kelimutu.
"Pake jaket yang bener, Sayang." Ares menarik resleting jaket yang dikenakan Letta saat mereka hendak memulai trekking.
"Tapi nanti kan panas pas dibuat jalan."
"Iya, nanti kalo udah panas dilepas nggak apa-apa, sekarang kan masih dingin banget. Pake senter hp aja nih buat penerangan?"
Letta menggeleng, "Aku bawa powerbank yang ada senternya, hpku nanti kan mesti nyambung sama kamera, takut batrenya abis."
Kondisi jalanan yang tanpa lampu penerangan mengharuskan para pengunjung untuk membawa senter masing-masing. Sepanjang jalan, tangan kiri Ares tidak melepaskan genggamannya pada tangan Letta, sementara tangan kanannya digunakan untuk mengarahkan senter.
"Kalo capek bilang ya."
"Iya, Sayang. Agak cepet yuk, Mas, kayaknya bentar lagi mataharinya terbit."
Ares mengikuti langkah Letta yang semakin cepat. Bukan masalah sebenarnya bagi Ares karena dua langkah Letta setara satu langkahnya.
"Sayang, pelan-pelan aja naik tangganya. Masih sempet kok dapet sunrise sampe atas sana," ucap Ares memperingatkan, walaupun posisi Ares tetap berjaga di belakangnya.
Terakhir, perjuangan terakhir dalam trekking itu adalah melalui undakan tangga yang cukup terjal.
"See, Mas? Nggak nyesel kan?" Letta memandang semburat jingga yang mulai muncul dari balik perbukitan, menunjukkan pantulan sinarnya ke atas dua danau berwarna hijau yang ada di bawahnya.
"Magis banget ya view-nya," ucap Ares sambil menatap bergantian antara istrinya dan matahari yang baru saja mulai nampak.
"Mas, mau punya anak berapa?"
"Hah? Empat, gimana?" Kesambet apa pula istrinya tiba-tiba menanyakan jumlah anak ketika mereka sedang khidmat menikmati sunrise.
"Banyak amat. Dua aja deh, ya?"
"Tiga deh, tiga."
"Kayak mau beli baju di pasar deh, pake nawar."

YOU ARE READING
ALL I WANT IS YOU
RomanceKata orang, tidak mungkin ada persahabatan tanpa rasa cinta di antara laki-laki dan perempuan. Mungkin itu benar. Nyatanya Antares Cakrawangsa tiba-tiba saja jatuh cinta pada sahabatnya sejak bayi. Orang bilang, long distance relationship itu tidakl...