59 Lamaran

141 31 6
                                        


"Meluluhkan Om buat apa?" tanya Ardian yang entah sejak kapan berdiri di ambang pintu menuju taman.

"Papa?" Letta kaget setengah mati dan tidak tau harus menjawab apa.

Untungnya Ares yang sudah biasa menghadapi situasi tidak terduga, langsung bisa mengatasi keadaan. "Itu, Om, Ares pengen kerja sama bareng perusahaan Om yang di Jogja."

"Oh, kalo urusan perusahaan, kamu langsung obrolin sama Ferdi aja, yang di Jogja juga orang kepercayaan Ferdi yang megang. Om denger perusahaan kita yang di Surabaya sama Jakarta udah tanda tangan kerja sama juga kan?"

"Iya, Om."

"Lagian kan harusnya Mahendra yang nawarin kerja sama, masa Cakrawangsa yang nawarin. Nggak levelnya lah."

"Ah dalam bisnis kan siapa bisa lihat peluang, Om. Mungkin selama ini Mahendra belum ngelirik Cakrawangsa, makanya Cakrawangsa duluan yang nawarin kerja sama."

Ardian terkekeh. "Waaah, beda memang ya kalo Dirut yang udah ngomong, jago sekarang kamu negosiasi. Good boy."

"Om bisa aja. Saya masih harus banyak belajar, Om."

Lagi-lagi Ardian terkekeh. "Pada masuk yuk, udah mau mulai tu makan siangnya."

***

"Mbak," panggil Letta sambil mengetuk pintu kamar kakaknya.

"Masuk, Ta."

"Ciyeee yang besok dilamar. Gimana, deg-degan?" goda Letta.

"Nggak mau cerita ah, biar nanti kamu ngerasain sendiri pas mau dilamar orang." Rimbi terkekeh.

Hari yang ditunggu Rimbi pun tiba. Pagi itu kediaman keluarga Mahendra disibukkan dengan kedatangan para perias yang akan mengubah penampilan keluarga Mahendra, tentu saja dengan Rimbi sebagai pemeran utamanya.

"Ma, ini mau lamaran doang loh, belum nikahan. Apa nggak terlalu heboh?" Rimbi sebenarnya merutuki dalam hati selagi dirias.

"Nggak apa-apa Mbi. Kamu nggak pengen tampil cantik di depan Ferdi apa?" jawab Aulia ketus.

"Kata Mas Ferdi Aku nggak dandan aja cantik kok."

"Sombong!" cibir mamanya. "Lagian rumah juga dihias kayak gitu lo, masa yang punya acara kucel."

"Mbak, Ma, keluarga Mas Ferdi udah dateng."

Aulia menggenggam tangan Rimbi. "Duh Mama pengen ngomong serius, ngasih wejangan ke kamu gitu loh, tapi kamu belum nikah ya, mana Ferdi udah dateng. Yaudah ditunda dulu aja wejangannya."

Letta terkikik melihat mamanya yang panik.

Rimbi berjalan menuruni anak tangga dengan diapit mamanya di sebelah kanan dan Letta di sebelah kiri.

Tentu saja semua mata tertuju pada ketiga wanita cantik yang sedang menuruni anak tangga itu.

Namun, ada dua pasang mata yang fokusnya bukan kepada bintang utama hari itu, melainkan kepada wanita yang mengenakan midi dress berwarna pink, yang berjalan di sisi kiri bintang utama.

Ares dan Ezra duduk dengan jarak yang lumayan jauh, menguntungkan bagi mereka sehingga keduanya tidak perlu berbasa-basi yang tentu saja tidak mereka inginkan.

Keluarga Mahendra hanya mengundang saudara dan kerabat dekat. Letta pernah cerita ke Ares bahwa Ezra adalab sahabat Ferdi, orang yang akan mengikat Rimbi ke tali pertunangan. Karena itu Ares tidak heran dengan kehadiran Ezra di acara itu.

Satu hal yang membuat Ares cukup terkejut, yakni kedekatan Ardian dengan Ezra.

"Res." Panggilan dari Letta membuyarkan lamunannya.

Letta menghampiri Ares begitu acara inti sudah selesai. Meskipun ada beberapa anggota keluarga yang lain, entah kenapa Letta lebih nyaman berdekatan dengan keluarga Ares.

"Kok manggilnya gitu lagi?" tanya Ares penuh selidik.

"Biar Papa nggak curiga."

Apa yang bisa dilakukan Ares ketika Letta memberikan senyum terindah dari bibirnya. Dan tentu saja Ares seketika merasa aman, karena toh yang ada di sisi Letta bukan Ezra, melainkan dia.

"Ta, Om deket banget kayaknya sama Mas Ezra?"

Letta mengikuti arah pandangan Ares. "Iya ya? Katanya sih Mas Ezra memang ke Jogja waktu itu sama Mas Ferdi, tapi aku sih nggak ketemu. Mungkin dari situ kali."

"Nanti kamu mau acara lamaran kita di rumah apa di hotel?"

"Coba ya, kalo ngalihin pembicaraan tu yang lebih smooth gitu! Bikin orang deg-degan aja." Letta terkekeh.

Ezra yang berada beberapa meter dari kedua orang yang sedang kasmaran itu hanya bisa mengalihkan pandangan melihat interaksi keduanya.

***

"Ciyeee yang abis tunangan, shining shimmering splendid banget Mbak," goda Letta saat kakaknya memasuki ruang makan dengan langkah yang ceria.

"Apaan sih? Pengen ya?" balas Rimbi.

"Sssttt!Letta refleks meletakkan jari telunjuknya di depan bibir.

Rimbi hanya terkekeh melihat kelakuan adiknya itu.

Beberapa menit mereka menghabiskan waktu untuk mengobrol, orang tua mereka akhirnya turun dan langsung menempati posisi duduk mereka seperti dulu.

"Gimana Kak perasaannya?" tanya Ardian.

Rimbi hanya tersenyum, "Ya seneng, Pa. Oh iya Pa, Ma, besok keluarga Mas Ferdi mau ngajak Rimbi ke Puncak, liburan sekaligus biar lebih deket sama keluarga yang lain. Boleh?"

"Inget, Kak, kalian belum sah, jadi nggak boleh sekamar!" wanti-wanti Aulia..

"Iya lah, Ma. Lagian kan sama keluarganya rame-rame, paling Rimbi tidur sama sepupunya, atau sama Ibu."

"Yaudah, pesen Papa sama kayak Mama kok."

"Mama Papa kapan balik ke Jogja?" tanya Letta.

"Kenapa? Pengen Mama sama Papa cepet balik ke Jogja?" Aulia mengerling ke arah Letta.

"Ih, nggak gitu, Ma. Letta besok kan kerja, Letta boleh balik ke apartemen nanti sore?"

"Nggak usah lah, berangkat dari sini aja," sahut Ardian.

"Tapi capek, Pa, jauh."

"Kan ada supir."

"Pa, kan Letta di sana jadi pegawai baru, Pa. Masa dianter jemput supir. Nggak enak ah."

"Ya udah, cuma sementara aja kamu dianter jemput supir, nanti Kamu minta turunin di perempatan deket kantor aja kalo takut yang lain tau. Kalo mobilmu udah dateng, nggak usah balik lagi ke apartemen."

"Hah?" Letta terkejut setengah mati mendengarnya.

"Paaaa, Aku nggak pengen dibeliin mobil. Nanti aku beli sendiri kalo udah ada tabungan."

"Ta, kayaknya Mama sama Papa mau agak lama di Jakarta. Jadi bener kata Papa, kalo kamu ada mobil sendiri kan enak ke mana-mana. Masalah kamu tinggal di apartemen kita omongin lagi nanti ya." Aulia berusaha menengahi obrolan anak dan suaminya.

Letta memutar kedua bola matanya dengan malas. Bukannya dia tidak suka kedua orang tuanya ada di Jakarta, tapi Letta enggan membawa mobil di tengah kemacetan Jakarta dan dia ingin belajar mandiri. Ah, tentu bukan hanya itu alasannya, waktu untuknya bertemu dengan Ares pasti akan berkurang kalau ia kembali tinggal di rumah.

"Ya udah, city car aja y,a Pa, yang standar aja, jangan yang mahal-mahal, nanti Letta cicil bulanan ke Papa."

Aulia menggeleng-gelengkan kepala melihat anak bungsunya yang keras kepala.

"Letta, nanti malem jangan pergi ke mana-mana ya, Papa mau ngenalin kamu ke seseorang."

Aulia melirik suaminya dengan bingung. "Siapa, Pa?"

"Ya Mama tau lah siapa."

"Tapi, Pa, Papa mestinya minta persetujuan dulu ke Letta," ucap Aulia menyiratkan ketidaksetujuannya.

"Papa tau yang terbaik buat anak Papa, Ma."

ALL I WANT IS YOUWhere stories live. Discover now