Epilog

214 28 14
                                    

Kata orang, musim semi adalah musim terbaik, sebab udaranya sehangat pelukan orang-orang tercinta, aromanya semerbak bunga-bunga yang bermekaran, langitnya secerah tawa anak-anak kecil tak berdosa yang berlarian.

Kata Gun, musim dingin adalah musim terbaik, sebab hanya saat musim dingin ia dapat membuat orang-orangan salju. Hanya saat musim dingin ia dapat duduk di dekat jendela, merentangkan tangannya keluar, membiarkan telapaknya menjadi tempat salju mendarat. Tak hanya itu, ia yang dikenal aneh karena beberapa hal itu juga akan melakukan sesuatu yang memang aneh, yakni menjulurkan lidahnya untuk bisa mencicipi salju.

"Miracle, apa kata Mama soal duduk di dekat jendela saat musim dingin?"

Gun menoleh, tersenyum. "Tidak boleh terlalu sering karena nanti bisa flu."

"Lalu?"

Gun turun dari kursi andalannya. "Maaf, Mama." Berpindah ke kursi ruang duduk.

Saowaros menghampiri Gun. "Apakah kau marah pada Mama?"

"Tidak, Mama."

"Terima kasih." Saowaros membersihkan rambut Gun yang sudah bermahkotakan salju. "Kau tahu Mama hanya tak ingin kau kena flu. Bukankah kau sendiri yang mengatakan bahwa flu itu tidak menyenangkan?"

Gun mengangguk-angguk. "Betul, hidungku tidak berfungsi, aku harus bernafas menggunakan mulut, dan itu luar biasa tidak menyenangkan," tuturnya.

Saowaros tersenyum. "Kalau begitu, jangan terlalu sering duduk di dekat jendela."

"Baik, Mama."

Saowaros masih tersenyum. "Mama ingin ke rumah tenun untuk mengambil beberapa kain, nantinya akan dikerjakan di sini, kau mau ikut?"

Gun menggeleng. "Aku di sini saja, Mama."

"Ya sudah kalau begitu." Saowaros berdiri. "Mama berangkat sekarang."

Gun mengantar ibunya hingga pintu sebagaimana kebiasaannya, dan setelah memastikan ibunya benar-benar pergi, ia kembali ke jendela untuk melanjutkan apa yang sempat terhenti.

Bungsu Vihokratana tak hanya aneh, ia juga cukup keras kepala.

"Siapa yang berbicara dengan Tay?"

Sebab setelah ia kembali ke jendela, ia mendapati kakaknya tengah berbicara dengan seseorang yang saat ini berdiri dalam posisi tidak begitu miring, dan sedikit membelakanginya.

Gun menyipitkan mata. "Siapa itu?" Ia penasaran tanpa alasan.

Rasa penasaran pula yang mendorongnya untuk membentuk persegi panjang menggunakan pertemuan antara jari telunjuk dan ibu jari kedua tangannya, kemudian mengarahkannya ke depan.

"Punggung yang lebar, bahu yang tegap." Gun mengarahkan persegi panjangnya ke arah dua bagian yang ia sebutkan, kemudian bergerak turun. "Pinggang yang ramping, tetapi kokoh."

Ia terkekeh, merasa suka dengan apa yang dilakukannya, dan tidak ingin berhenti. Bagian selanjutnya sedikit lebih rendah dari sebelumnya.

"Tangan yang besar dengan jari-jari yang indah."

Sebab pemilik kedua tangan itu tengah menempatkan mereka di belakang pinggang.

The Sun Also SetsWhere stories live. Discover now