Prithee, Sun, Turn To His Grace 13/2

104 23 1
                                    

Perkataan bahwa waktu menyembuhkan segalanya itu tidak selalu benar, sebab sudah satu minggu berlalu, tetapi bahkan di tempat yang berada ratusan mil jauhnya, luka dan rasa sakit itu menjejak.

Mungkin satu minggu terlalu singkat, mungkin juga London tidak cukup jauh untuk benar-benar menyembuhkan Gun dari luka dan rasa sakit yang tertoreh di Glasgow.

Rasanya pelarian ke London ini adalah sia-sia karena di sini sungguh tak ada bedanya, bahkan Gun lebih menderita sebab tak peduli seberapa sering ia melakukan penyangkalan, dirinya tahu bahwa sebagian besar penderitaannya ia dapatkan dari rasa rindu yang besar akan Off.

Itu adalah hal terakhir yang Gun harapkan untuk terjadi. Merindukan Off adalah hal yang paling tak ingin ia rasakan, tetapi sebelum tidur dan sesudah bangun tidur, hal yang ia rasakan adalah rindu.

Gun bertarung mati-matian, logika dan nuraninya berselisih setiap saat, membuatnya lelah sehingga semakin hari ia semakin ringkih.

"Miracle, makanannya jangan hanya dimain-mainkan seperti itu, cobalah untuk dimakan."

Gun terkesiap dari lamunannya mendengar perkataan ibunya. "Aku tak lapar, Mama."

Saowaros menghela nafas berat. "Tak bisa seperti itu, pola makanmu sangat berantakan selama satu minggu ini. Kau harus makan," tuturnya.

"Aku tidak berselera, Mama."

"Miracle, cobalah untuk mendorong dirimu untuk mau makan. Kau butuh makan."

Gun menggeleng. "Tidak, Mama."

"Miracle—"

"Aku tidak butuh makan, Mama!" bentak Gun sembari melepas sendoknya dengan kasar. "Makanan tidak membantu aku!" pekiknya frustasi.

Saowaros hanya bisa memejamkan matanya menerima bentakan Gun. Mencoba untuk memaklumi putra bungsunya yang selama satu minggu belakangan memang sesekali menjadi sangat mudah marah dengan emosi dan suasana hati yang tidak stabil.

Nafas Gun memburu, dan beberapa saat kemudian ia menangis seperti yang juga sering kali terjadi padanya belakangan ini.

"Maafkan aku, Mama." Gun sangat menyesali perbuatannya, tetapi ia sungguh kesulitan mengontrol diri. "Aku tidak bermaksud membentakmu, aku tidak tahu kenapa aku seperti ini."

Saowaros menghela nafas, dia tidak marah sebab dia cukup tahu seperti apa rasanya, dia menghampiri Gun, mengajaknya beralih ke ruang duduk untuk bisa menenangkannya di sana.

"Mama cukup bisa mengerti perasaanmu," katanya lembut. "Jika kau ingat cerita saat ayahmu meninggalkan Mama, itu sangat mengacaukan Mama, sama seperti dirimu saat ini."

Gun tersedu-sedu. "Rasanya sakit sekali, Mama. Aku sangat sakit hati, aku sangat marah, meski begitu, aku—"

"Merindukannya." Saowaros melanjutkan perkataan Gun.

"Tolong aku, Mama." Gun memeluk ibunya erat. "Aku tidak suka perasaan ini. Aku tidak suka."

Saowaros menepuk-nepuk punggung Gun lembut. "Mama minta maaf, Miracle. Mama tidak tahu caranya, sebab waktu itu, satu-satunya yang memulihkan Mama adalah kedatangan ayahmu."

Saowaros ingat sebelum mendiang suaminya mendadak muncul di London, dia sudah seperti mayat hidup.

"Aku sangat bodoh, Mama. Aku seharusnya tidak jatuh cinta padanya."

"Miracle, kita tidak memilih kepada siapa kita jatuh cinta."

"Aku seharusnya tidak memulai hubungan dengannya."

The Sun Also SetsWhere stories live. Discover now