23. Dating

11K 476 16
                                    

Sekarang dihadapan Sastra kali ini adalah si gadis mungil dengan porsi makan paket besar dan tak lupa semangkuk es krim tiga rasa. Hingga sebuah senyuman merekah menghiasi bibir Sabrina dan mengatakan,

"Wah, makasih ya Kak Sastra traktirannya." Ujar Sabrina antusias.

Sastra ingin tertawa mendengar kosakata yang digunakan Sabrina, lucu. Traktiran? Bukannya memang ia adalah tanggung jawabnya?

Lagi pula untuk apa berterima kasih. Karena nyatanya Sabrina memang adalah istrinya, dan ia adalah suaminya. Jelas tugas seorang suami adalah menghidupi istrinya. Meskipun pernikahan mereka hasil dari perjodohan yang tak diinginkan.

"Yakin segitu habis?"

Sabrina mengangguk, "yakin."

"Ya udah buruan dimakan."

"Oke." Dengan wajah penuh sumringah, Sabrina langsung meraih sendok dan garpu yang tergeletak di samping piring nasi goreng dan beberapa potong ayam goreng. Tak lupa semangkuk dimsum disampingnya serta saos sambal.

Entah mengapa akhir-akhir ini, memandangi Sabrina adalah kebiasaan yang membuat hati Sastra cukup adem. Apalagi ketika gadis berambut curly di bagian ujung ini selalu menggembungkan bibirnya disaat marah ataupun boring. Aneh memang. Tapi Sastra mulai suka kebiasaan-kebiasaan lucu gadisnya ini.

Sastra menyeka anak rambut Sabrina yang mulai bergelantung mengganggu aktivitas makan Sabrina. Disisihkannya anak rambut Sabrina di balik telinga, dan kemudian mengusap puncak kepalanya.

Seketika Sabrina menjeda aktifitas mengunyahnya. Ia terdiam untuk beberapa saat melihat wajah Sastra dari dekat ketika menyeka rambutnya. Meskipun terkadang setiap malam Sabrina terbangun dari tidurnya, dan diam-diam memperhatikan wajah Sastra dari balik pencahayaan yang redup, jelas kenyataannya, Sastra sangat tampan untuk dipandangi. Sekarang dia tahu alasannya, mengapa suaminya ini selalu jadi perbincangan Natasha dan kawan-kawannya juga para cewek di sekolahan.

Cemburu? Mungkin. Tapi jelas nyatanya Sabrina telah berhasil menikah dengan Kak Sastra. Most wanted para siswi sekolahannya.

Benda pipih milik Sabrina yang tergeletak di meja bergetar menyala. Bertanda panggilan telfon masuk. Membuat sang pemilik sekaligus Sastra yang sedang asyik memandangi pemilik handphone tersebut buyar dalam aktifitasnya.

Sabrina langsung meraih handphonenya, ia terdiam untuk beberapa saat setelah membaca siapa yang sekarang menelfonnya. Tapi ia berusaha setenang mungkin, karna semua akan baik-baik saja.

"Hallo, Aldo? Kenapa?" Raut wajah Sastra kembali datar, ia langsung mengalihkan pandangannya dan memulai memakan pesanannya.

"Kenapa?" tanya Aldo bingung mendengar jawaban Sabrina. Tak seperti biasanya Sabrina menyahut 'kenapa?' seolah-olah menanyakan apa penyebab Aldo menelfonnya. Jelas seperti minggu-minggu sebelumnya, Aldo sering menelfon Sabrina untuk sekedar mendengar suaranya.

"Gakpapa," Jawab Aldo tak enak hati, "lo masih marah ya sama gue dari kejadian tadi pagi?"

Ini pertama kalinya Sabrina marah padanya. Ia juga tak tahu, surut amarah Sabrina hingga sampai kapan. Yang Aldo ketahui fakta tentang marahnya Sabrina adalah pemarah yang pelupa. Dari dulu Sabrina bercerita pada Aldo bahwa ketika ia sedang marah pada seseorang, ia mudah lupa kalau ia sedang marah. Sabrina mengaku, bahwa ia tak akan kuat berlama-lama diam memusuhi orang lain karna ia sulit untuk menahan tidak mengobrol.

Sabrina terdiam, ia teringat sesuatu bahwa sejak kejadian tadi pagi ia tak ada komunikasi sama sekali dengan Aldo.

"Lo nyaman marah sama gue?" Tanya Aldo serius. Tidak ada maksud menyindir atau marah, yang ada hanyalah khawatir ketika perempuan yang ia sayang mengatakan,

SABRINA & SASTRAWhere stories live. Discover now