35. Pengorbanan

10.7K 485 22
                                    

"Hai, lagi pada ngapain nih?"

Rapat kecil-kecilan yang hanya ada Sabrina, Wina, Nuel, Tio dan Putra itu mendadak jadi awkward.

Mereka berlima mendongakkan kepala, menatap bingung ke arah cowok yang sedang berdiri diantara mereka yang sedang duduk bersila melingkar. Yang ditatap pun hanya menyengir dan melambaikan tangan sekilas. Seperti dirinya merasa berada di drama korea dengan peran cowok cool tapi jatuhnya malah cringe.

"Ngapa, dim?" Tanya Wina bingung, melihat teman sekelasnya yang datang-datang malah menyengir kuda, tidak jelas.

Adim menggeleng samar. Cowok itu kemudian ikut duduk bersila di samping Sabrina, sambil mencodongkan tubuhnya ke dalam lingkaran rapat. Membuat ke lima orang yang menatapnya bingung bukan kepalang. Sama sekali tidak mengerti maksud kedatangan Adim yang tidak pernah diduga sebelumnya.

"Kak Adim ngapain ke sini?" Tanya Sabrina membuat Adim menoleh kalem ke arahnya.

Kemudian Adim pura-pura berfikir, lalu menatap Sabrina lagi dengan tatapan yang lebih dalam. Lebih kalem, berusaha manis, juga teduh. Mirip seperti tatapan Sastra yang sering ditujukan pada Sabrina. Cuman bedanya lebih aneh karena seperti tidak biasanya cowok ini terlihat lebih kalem dan tidak banyak omong.

Sabrina yang ditatap pun hanya tersenyum paksa, masih tidak mengerti kenapa Adim berpolah seperti ini.

"Lo ngapa sih, anjir!" Umpat Wina menonyor kepala Adim. Membuat cowok itu hampir terjengkang kebelakang.

"Kasar lo!" Umpat Adim.

Wina mendengus kesal, "Ya lo ngapain ke sini?! Ini kita lagi pada rapat teater!"

"Mana pake sok natap-natap Sabrina kaya pedofil gitu! Lo kalo gak ada keperluan, tolong menepi. Ok?"

"Gue kan lagi akting jadi Sastra!" Ujar Adim nyolot, "Makanya gue natap Sabrina dengan penuh kasih sayang dan lebih kalem, dong!"

Sabrina tertawa ketika mendengar penjelasan Adim, membuat ia tak habis fikir, kenapa cowok disampingnya ini begitu random dan tidak bisa ditebak.

"Sinting lo!" Pekik Wina emosi, "Udah minggir sana!"

Bagaimana bisa, teman satu kelasnya ini berfikir ia akan mirip dengan Sastra hanya karna merubah tatapannya menjadi sok teduh dan irit omongan.

Dari segi wajah saja sudah bisa dibaca, Sastra yang memang lebih cenderung diam dan pengamat. Sedangkan Adim? Si omong ceplas-ceplos, yang terkadang berjiwa emak-emak, muka pelawak, dan kalau ngakak pasti seantero sekolah tau, itu suara Adim.

"Lo sih, jomblo! Makanya ga pernah ditatap kaya gitu tadi!" Ledek Adim mendengus kesal.

"Setan lo!" Umpat Wina.

Sabrina tertawa kecil, ia juga bingung harus melerai bagaimana. Kedua kakak kelasnya itu terlihat menggebu-gebu dan keras kepala. Meski ia yakin, mereka pasti sebenarnya sudah akrab sebelumnya.

Lagi pula, saat ini yang Sabrina rasakan hanyalah lapar, capek, dan pusing. Sedari tadi ia bolak-balik harus menyelesaikan masalah proposal dan persiapan teater. Ia belum makan seharian.

"Udah deh, gue mau pamit." Ujar Adim, "Nih, beb ada titipan buat kamu."

"Euh, ketauan Sastra, mampus dah." Gumam Wina mencibir.

Adim meraih sekantong plastik yang ia sembunyikan dibalik tubuhnya. Cowok itu menyodorkannya pada Sabrina dan memberikannya secara dramatis, "Dari Sastra. Katanya, kamu suruh sarapan dulu."

"Mumpung masih anget. Enak." Ujar Adim.

Sabrina membuka bungkus plastik tersebut, ternyata isinya ada dua gulung kebab yang terlihat masih hangat, dan juga semangkok es krim cokelat berukuran sedang.

SABRINA & SASTRAWhere stories live. Discover now