58. Hope

7.6K 419 127
                                    

Motor Humar melaju kencang, menembus kabut pagi yang tentunya masih mejeng dijalanan. Cowok itu hanyut dalam pikirannya. Matanya berkaca-kaca memerah karna mendadak terbangun ditengah jam tidurnya.

Ini masih jam empat pagi. Dan ia sudah dibuat lemas karena panggilan masuk dari sepupunya, Aldo.

Tubuh Humar terasa ringkih seketika mendengar kabar tentang Sastra tadi. Tapi ia paksakan untuk mengendarai motor besarnya, menuju ke rumah sakit yang diketahui menjadi tempat peristirahatan Sastra. Semua terasa tidak meyakinkan.

Motornya ia belokan, menukik jalanan secara tajam. Membuat tubuh dan motornya memiring layaknya seorang pembalap. Ia tidak ingin memamerkan skill mengendarainya, tetapi ia memang memerlukannya. Cowok itu butuh cepat karna tak sanggup lagi menahan pikirannya yang melayang, memikirkan adiknya, Sastra.

Mata Humar menatap tajam setiap bangunan yang berjajar di jalan raya, sebuah penanda dengan lampu menyala memberikan arah jalan rumah sakit. Cowok itu membelokkan motornya lagi, dan memasuki basement parkiran.

Cowok itu langsung memarkirkan motornya di tempat luang, lalu mengunci stangnya secara gesit. Ia melepaskan helm hitamnya, lalu buru-buru menaruhnya begitu saja.

Humar berlari, masuk ke ruang lift yang masih terbuka, dengan perasaan yang makin kacau karna tidak siap melihat keadaan yang senyatanya. Jemarinya langsung memencet paksa tombol lift.

Raut wajah Humar gelisah, sesekali ia mengggeram, lalu mengusap pipi sebelahnya secara kasar. Menghapus air mata yang setitik keluar karna terlalu khawatir.

Ketika pintu lift itu terbuka, cowok itu langsung keluar, berlari tertatih menelusuri lorong yang akan membawanya ke sebuah ruangan yang ia cari.

Dari kejauhan, Humar melihat cowok-cowok yang tengah berjejeran di kursi. Mereka tampak bergeming, dengan wajah suram. Humar langsung berlari, membuat mereka semua langsung menoleh kepadanya.

"DIMANA SASTRA?!"

Adim yang lebih mengenal Humar daripada yang lain, langsung mendekat, menahan Humar, "Bang, sabar! Lo tenang dulu! Jangan panik!"

Humar menarik krah Adim, ia tidak suka harus menunggu lama mendengar penjelasan apa yang terjadi, "Lo ga usah basa-basi! Jelasin!"

"Iya, gue bakal jelasin! Lo tenang dulu, bang!" Adim yang sama tak tenangnya mendorong Humar, menepis jarak dengan cowok itu.

Kegaduhan yang dibuat Humar itu, sontak membuat Aldo keluar dari ruangan. Ia tampak suram, dengan tatapan datar yang lelah.

"Bang, yang marah bukan cuma lo, kita semua sama kaya lo." Ujar Aldo tanpa ekspresi

"Kita udah capek buat ngadepin orang losecontrol. Tolong jangan buat kita ngamuk lagi."

Humar menata emosinya. Nafasnya terlihat nyata, mengartikan dirinya sedang tidak tenang. Ia melenguh, lalu tersisih, duduk bersama teman Sastra lainnya.

"Dia kritis bang," Pungkas Aldo.

****

Cacha melirik Hendra yang terlihat risau meneguk air mineralnya. Cowok itu terduduk, lalu menelungkupkan kepalanya di meja makan. Ia bergeming untuk beberapa saat.

"Keadaan Sastra gimana?" Tanya Cacha seraya melirik ponsel Hendra yang tergeletak di atas meja.

Hendra berdeham, lalu menolehkan wajahnya pada Cacha sembari menggeser ponselnya, didekatkan pada cewek itu.

"Gue gak tahu, coba lo cek dulu." Kata Hendra mengalihkan pandangannya. Enggan membaca pesan masuk yang berupa kabar.

Cacha mengangguk, lalu meraih benda pipih itu. Ia mulai membuka chatroom, dan membaca pesan masuk yang dari teman-teman lainnya.

SABRINA & SASTRAWhere stories live. Discover now