36. First lie

9.7K 455 28
                                    

Sabrina baru saja menyelesaikan kegiatan mandinya. Cewek itu keluar dari kamar mandi, dengan kaos oblong dan celana pendek selutut. Sembari mengeringkan rambutnya dengan handuk, cewek itu berjalan mengarah pada Sastra.

Dilihatnya, cowok itu nampak tenang menghirup rokoknya di balkon kamar. Sambil sesekali menitiskan putungnya ke dalam asbak. Tentunya dengan kebiasaannya yang mengekspos bagian dadanya.

Sabrina menoleh ke arah meja belajar. Dimana sedari tadi ia menggeletakkan ponselnya yang juga bersebelahan dengan ponsel milik Sastra.

Cewek itu membelokkan langkahkan kakinya mendekat ke meja belajar, meraih benda pipih yang beberapa kali sempat berdenting notifikasi.

Ibu jari Sabrina mengusap layar ponsel, membuka sebuah aplikasi chatting yang menampilkan beberapa nama dan juga sebuah nomor tidak dikenal.

From : +62856-2731-XXX
Ini gue Bidal. Gue mohon besok kita bisa ketemu jam 5 sore, di belakang sekolah. Ada yang mau gue omongin.

Tolong jangan bilang ke siapa-siapa, terutama Sastra.

Sabrina mengernyitkan alisnya bingung, tak mengerti mengapa Bidal mengajaknya bertemu di belakang sekolah. Ia hanya beberapa kali berpas-pasan dengan cowok itu, berbincang pun juga jarang.

Hanya waktu itu bertemu dibalkon kamar yang bersebelahan, dan juga karna Bidal mengantarkan sekotak brownies ke rumahnya.

Membuat banyak pertanyaan muncul di benak Sabrina. Mengapa Bidal mengajaknya bertemu.

Sabrina menoleh ketika dirasa seseorang berdiri disampingnya. Menatapnya dengan alis sebelah yang dinaikkan, membuat Sabrina terperanjak kaget dan mematikan layar ponselnya.

"Kak Sastra ngapain berdiri di sini?" Tanya Sabrina berusaha menutupi nada panik.

"Papa sama mama pulang," Ujar Sastra memberitahu, "Lo turun duluan gih, makan malem."

Sabrina mengangguk, kemudian meraih sebuah charger di atas meja itu, dan mengisi daya baterai ponselnya. Cewek itu sedikit was-was ketika meninggalkan ponselnya, meskipun ia yakini Sastra tidak akan membuka ponselnya. Cowok itu terlihat enggan untuk ingin tahu dan cuek.

Ia beranjak keluar kamar, meninggalkan Sastra yang sepertinya bersiap-siap untuk mandi.

***

Malam ini sengaja Humar menyiapkan beberapa menu masakan ala buatannya. Meskipun tidak terjamin enak, cowok yang mengaku lebih tampan dari Sastra itu terlihat percaya diri. Ia menyiapkan sendirian, tidak ingin campur tangan dari siapapun. Termasuk Sabrina yang tadi sempat menawarkan diri untuk membantu.

Tapi nyatanya, Humar memilih menolak, karna ia yakin, adik ipar perempuannya itu lelah. Akhir-akhir ini, Sabrina lebih sering pulang sore. Berbeda dengan Sastra yang terkadang malah pulang lebih awal karna colut.

Humar menoleh ketika Sabrina melangkahkan kakinya pada anak tangga paling bawah. Cewek itu terlihat lebih segar, setelah mandi. Tidak seperti tadi sepulang sekolah yang terlihat lesu dan capek. Ia tersenyum merekah, sama seperti Sabrina yang juga tersenyum ke arahnya.

"Ada yang bisa dibantu?" Tanya Sabrina terseling nada bercanda.

Humar tertawa. Ia membalikkan tubuhnya, mengangkat mangkok sup daging sapi ke meja makan. Sabrina hanya berjalan mengekor, terlihat antusias melihat sup buatannya. Mungkin terlihat nikmat dan membuat perutnya semakin keroncongan, fikir Humar.

"Wah, ini pasti enak." Puji Sabrina ketika mangkuk supnya itu ditaruh di atas meja.

Humar hanya tertawa, dan mengusap puncak kepalanya sekilas. Seperti yang sering dilakukan Sastra. Hanya saja, persepsinya adalah seorang kakak yang gemas pada adiknya.

SABRINA & SASTRAWhere stories live. Discover now