38. Penjelasan

9.2K 426 83
                                    

Malam ini Sabrina duduk di balkon kursi kamarnya, memeluk ke dua lututnya erat-erat. Cewek itu sedari tadi tidak berhenti menitikkan air mata. Pandangannya menyapu langit-langit malam, sambil sesekali mengerjapkan matanya.

Wajahnya tidak terpancar keceriaan malam ini. Ketika ia mengingat kejadian semengerikan itu. Bibirnya merah mudanya itu gemetar, ia begitu takut.

Ia menghela nafas berat, kemudian meletakkan dagunya di atas lutut kaki, menyeguk nafasnya yang sedikit terhambat karna tangisannya.

Kejadian sore tadi sungguh membekas dipikiran Sabrina. Wajah para cowok berandalan yang berniat menerkamnya, sungguh mengerikan. Teringat jelas bagaimana cara mereka menggoda, memandangnya secara remeh, bahkan nyaris menyentuh tubuhnya. Sungguh, tak pernah terbayangkan sebelumnya ia bakal mengalami kejadian seburuk itu.

Perlahan, rintik hujan turun. Membasahi apapun yang dinaungi langit. Membuat memori-memori tadi perlahan mengikis terganti dengan suara ramai riuh air. Sabrina mencoba menyetak senyum tipis, ia tak boleh larut oleh pengalaman yang seharusnya dilupakan.

Pintu balkon kamar terbuka, menampilkan Sastra yang sedang mengepulkan rokoknya sembari menenteng secangkir minuman panas.

"Gak usah dipikirin," Ujar Sastra sambil menitiskan rokoknya di dalam asbak,

"Coklat panas." Secangkir minuman coklat yang dibawa Sastra itu ternyata untuk gadisnya.

Artikel yang pernah Sastra baca, coklat mampu meredakan stress atau rasa sedih seseorang. Maka dari itu, ia sengaja membuatkan minuman coklat panas untuk gadisnya itu.

Sastra paham, Sabrina pasti syok dengan kejadian tadi. Mengingat betapa sungguh ia ketakutan hingga tak berbicara sedikitpun kepadanya. Kecuali saat memberitahunya untuk tidak melawak di depannya.

Hari ini adalah hari yang tak pernah Sabrina bayangkan sebelumnya.

Sabrina menoleh, menatap Sastra, bingung "Buat siapa?"

Sastra tertawa, dalam keadaan tertekan pun, kinerja otaknya masih saja lamban, "Buat kamu,"

Sabrina bingung, padahal daritadi ia tak meminta apapun kepada Sastra. Kecuali memintanya untuk diam dan tidak menyeletukkan apapun selain hal penting.

Itu dilakukan karna sedari tadi, cowok itu mengatakan yang tidak-tidak dan membuatnya cukup jengkel seperti,

"Lo lebih milih om-omnya tadi apa gue?"

"Manggilnya om atau oppa?"

"Jangan dipikirin, Oppa-oppa tadi cuman bercanda."

"Tadi omnya yang pojok mirip siwon ya."

Sastra menaruh secangkir coklat panasnya di atas meja, kemudian mematikan bara api rokoknya ke asbak, dan duduk disamping gadisnya yang masih setia memeluk kedua kakinya itu.

Sabrina mengerjapkan matanya, menatap Sastra yang nampak tenang memandangi langit-langit. Cowok itu menoleh, menatap Sabrina dengan wajah tanpa ekspresi. Datar. Membuat cewek itu menurunkan kedua kakinya dan memandang lurus ke depan.

"Maaf." Celetuk Sabrina begitu saja, air matanya mengalir lembut dipipinya, membuat Sastra menaikkan alis, bingung, "aku bohong."

Sastra merubah raut wajahnya, yang semula nampak bingung, menjadi sebuah senyuman tipis yang tulus, "aku tau semuanya."

Sabrina terdiam untuk beberapa saat, ia buru-buru mengusap air matanya, menoleh, dan memandang Sastra penuh tanya.

"Kamu gak pergi cari properti sama anak teater, tapi sama Bidal." Ujar Sastra.

SABRINA & SASTRAWhere stories live. Discover now