24. Sibuk

11.1K 478 15
                                    

Hari demi hari berlalu, hubungan Sabrina dengan Sastra kembali seperti hari pertama ia tinggal bersama dengannya. Cuek dan tak peduli. Meskipun sifat tersebut melekat dalam diri Sastra, tapi jelas Sabrina rasakan, cowoknya itu kembali seperti sifat es batunya. Dingin

Sedangkan dalam pikiran Sastra, Sabrina seperti memiliki sebuah rahasia tersendiri yang membuatnya enggan untuk mengorek lebih dalam. Ia tak peduli, tapi rasanya ada yang mendorong ia untuk mencari tahu. Mungkin bukan rahasia, tapi privasi. Pikir Sastra yang kemudian mengurungkan niatnya untuk mencari tahu.

Kebiasaan lama Sastra juga kembali bangkit. Meskipun kebiasaannya tak benar-benar hilang, tapi rasanya ia tergugah kembali untuk merokok dan bolos. Cowok itu seperti tak niat untuk hidup tenang layaknya anak SMA lainnya.

Seperti siang hari ini, di rooftop sekolah. Persembunyian paling aman yang tak perlu keluar gerbang. Jelas tersembunyi, karna hanya beberapa siswa saja yang tau akses menuju rooftop.

Para guru juga tak akan memergoki siswa yang berada di sana. Karena rooftop tersebut menghadap ke belakang sekolah, dan terdapat tembok kelas yang menutupi pandangan lingkup sekolah.

Sastra sudah muak dengan adanya latian-latian ujian. Tak berpengaruh dengan dirinya, apalagi materi yang diajarkan hanya itu-itu saja.

Ia fikir, masuk ke kelas hanya diperlukan saat pengambilan nilai materi. Tak perlu latian-latian ujian. Ia enggan dan malas.

Sastra menghisap rokoknya dengan tenang, layaknya tak akan ada masalah dihidupnya jika ia dipergoki sedang merokok dilingkup sekolah. Penatnya ia lepaskan begitu saja seiringan dengan hembusan asap rokok yang mengepul dihadapannya.

Masa bodoh jika ada opini, wajah seseorang akan menua lebih cepat ketika ia merokok. Tapi sayangnya, sampai sekarang tak terbukti pada Sastra yang dua tahun belakangan ini menjadi perokok.

Wajahnya tetap tampan, tak pudar hanya saja rahangnya terlihat lebih tegas karna ia memang sedikit lebih kurus. Bibirnya juga masih berwarna merah muda cerah dan tidak menunjukan adanya tanda-tanda seorang perokok. Sastra tetap tampan seperti dulu, lebih terlihat galak ketika mata elangnya menatap hal yang tak ia suka.

Sabrina sendiri kian disibukkan dengan tugas-tugas sekolah dan proposal pengajuan teater di luar kota. Jadwalnya padat, dan ia hampir kewalahan dalam mengelola waktu. Ekskul teater yang diikuti Sabrina memang berkembang baik akhir-akhir ini. Dan poin utamanya ialah tugas penanggung jawab jatuh ditangan Sabrina.

Tak jauh berbeda seperti gadis mungil yang ia sayangi, Aldo yang sebelumnya juga sering disibukkan dengan urusan osis, makin kesini, osis makin menjadi sedikit beban untuknya.

Aldo tak pernah terfikir, dimasa sma nya akan terjerumus ke dalam dunia kepengurusan osis. Ia masih jengkel mengingat adanya kebijakan perwakilan minimal dua orang tiap kelasnya. Harusnya yang terpilih adalah Widi dan Humar. Tapi mengingat Humar waktu itu malah membolos dihari tes pertama osis, mau tidak mau cowok itu harus menggantikannya.

Dan prinsip Aldo adalah totalitas. Jadilah sekarang ia berkutik di depan laptop hingga sore nanti.

Seperti hubungan Sabrina dengan Sastra, Aldo dan Sabrina juga kian menjauh. Hubungan mereka datar tanpa komunikasi. Padahal, waktu itu Sabrina tak benar-benar marah.

"Aldo, gue balik bareng lo ya?" Gigha datang menghampiri Aldo dengan tas ranselnya setelah beberapa menit bel berbunyi.

Sabrina yang duduk di sebelah Aldo hanya terdiam. Sengaja ia memperlama memasukkan buku-buku ke dalam tas. Ia penasaran, apakah cowok yang terkenal dingin ini masih menyandang sikap galak dan cuek terhadap cewek selain dirinya.

SABRINA & SASTRAWhere stories live. Discover now