Bagian 3

5.1K 604 21
                                    

Berdiri di hadapan cermin tanpa melakukan apa-apa, Semesta lagi-lagi menarik napas panjang

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Berdiri di hadapan cermin tanpa melakukan apa-apa, Semesta lagi-lagi menarik napas panjang. Tadi, baru saja Semesta keluar dari mobilnya, bunda langsung menghadang. Menyuruhnya untuk segera mandi dan bersiap-siap. Bunda sendiri sudah tampak rapi dengan aroma yang semerbak. Rasanya, Semesta seperti menghadapi anak remaja yang sedang dimabuk cinta.

Yah, sebenarnya tidak salah, sih.

"Kenapa buru-buru banget coba?" Semesta bergumam pelan seraya menyisir rambutnya dengan ruas jari, walau di dekatnya ada sebuah sisir. Kedua netra Semesta memperhatikan irisnya sendiri, lalu beralih pada surai yang menurutnya sudah rapi.

Dengan gerakan cepat, Semesta mengambil jaket biru tua yang tergeletak di atas ranjang. Walau bunda sudah berkata bahwa Semesta harus mengenakan pakaian yang lebih formal, namun Semesta tidak mengikuti. Lagipula, ini hanya acara makan malam nonformal. Ia hanya akan bertemu dengan calon ayah dan saudaranya.

Suara ketukan di pintu membuat Semesta menoleh. Ia mengenakan jaketnya, lalu berjalan dengan malas. Dibukanya pintu kamar yang bahkan tidak terkunci.

"Bukannya udah Bunda bilang buat pakai baju yang lebih formal?" Bunda bersedekap. Ia memperhatikan Semesta dari atas ke bawah, kemudian sebaliknya. Putranya itu hanya mengenakan kaos di balik jaketnya dan celana jeans. Surainya yang dibiarkan begitu saja, padahal bunda sudah menyuruhnya untuk berpenampilan serapi mungkin.

Semesta merotasikan kedua bola matanya. Ia memegang kedua pundak bunda dan membalik tubuhnya. "Bun, ini cuma makan malam biasa. Kita nggak mau fine dining 'kan?"

Bunda mengerucutkan bibir. Pada akhirnya, ia tidak lagi memaksa Semesta atas kehendaknya. Sudah baik anak itu mau menuruti perkataannya untuk pulang cepat dan ikut makan malam.

"Yaudah, yaudah. Terserah kamu aja." Bunda meraih tangan Semesta yang ada di pundak, lalu menggenggamnya.

Tanpa bunda sadari, Semesta mengulum senyum tipis. Langkahnya terasa ringan begitu mengikuti langkah bunda yang cepat. Entah karena Semesta merasa mood-nya sedang baik saat ini atau karena aspek positif yang selalu bunda sebarkan. Kedua netra Semesta yang jernih menatap punggung bunda, tampak kuat, namun yang ia lihat berbeda.

Bunda yang selama ini selalu terlihat bahagia walau harus membesarkan Semesta seorang diri. Seseorang yang selalu berkata bahwa dirinya tidak pernah bersedih. Semesta tidak ingin menghancurkan semua itu.

•••

Sebuah pigura yang tersimpan di atas nakas menjadi salah satu objek yang menarik indra penglihatan Kafka. Posisi benda yang paling ia hafal dari sekian banyak benda yang ada di rumahnya. Walau ia tidak bisa mengingat sosok yang ada di pigura tersebut, namun Kafka selalu tahu kalau itu adalah posisi foto Deolinda, ibunya.

"Bunbun, hari ini Ayah ngajak aku buat ketemu calon istrinya." Kafka berbisik pelan, bahkan lebih pelan dari suara kucing yang sedari tadi mencakar sofa dengan ganasnya. "Akhirnya Ayah berani buat nyoba sekali lagi dan yakin sama yang satu ini."

KelabuWhere stories live. Discover now