Bagian 11

3.1K 405 13
                                    

"Kemarin lo ke mana?"

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Kemarin lo ke mana?"

Semesta tiba-tiba bertanya pada Kafka, memecah keheningan yang sedari tadi menguasai. Keduanya duduk berhadapan di sebuah kafe kecil, tempat Sasi menyuruh mereka untuk menunggu. Katanya, sih, ia akan sampai dalam waktu dua puluh menit. Tapi, sampai lewat pukul tiga, batang hidungnya belum juga nampak.

Kafka menggigit sendok es krimnya dan mengerjap. "Oh, kemarin gue ke rumah sakit," jawab Kafka jujur. Ia berhenti menggigit sendok dan meletakkannya di dalam mangkuk es krim berukuran jumbo yang dipesannya. "Gue ada jadwal check up, jadi nggak bisa kuliah dulu."

"Hm?" Kedua kelopak mata Semesta menyipit. "Lo sakit? Lo keliatan sehat?"

Kafka tersenyum miris. Kalaupun dibilang sehat, nyatanya tidak begitu. Tapi, kalau dibilang sakit ... fisik Kafka terlihat seratus persen sehat.

"Keliatannya 'kan, Kak?" Kafka membalas asal. Ia ingin berbicara mengenai apa yang terjadi pada kesehatan mentalnya. Namun, rasanya hal itu tidak penting untuk dibicarakan. "Emang gue keliatannya sehat, kok."

"Kenapa lo ngulang kata 'keliatannya' terus?"

Kafka menunduk, kemudian menoleh ke arah jendela. "Nggak apa-apa, pengin aja." Ia berucap pelan, lalu kembali memakan es krimnya. "Oh, kenapa tadi lo nanyain gue ke mana kemarin? Kangen, ya? Tenang aja, nanti-"

"Bunda gue kemarin masak buat lo," potong Semesta. Ia melipat kedua lengannya di atas meja dengan tatapan mata yang menatap tepat di manik cerah Kafka. Kalau dari posisi seperti ini, keduanya tampak mencurigakan, namun Semesta tidak peduli. "Jadi, kemarin gue bagi-bagiin masakan bunda gue ke anak sekelas. Anggap aja sedekah, mereka butuh makanan soalnya."

Kafka terkikik geli. "Kak, kalau misal gue jujur gue sakit apa ... apa lo bakal jauhin gue? Atau minta bunda lo buat ngebatalin pernikahannya gitu?" tanya Kafka takut-takut. Ia sesekali melirik Semesta, lalu beralih pada es krim vanilanya yang menggoda iman.

"Lo HIV?" Semesta menjawab asal.

"Kenapa langsung nebak ke HIV, sih?!" seru Kafka kesal. Tangannya terkepal, lalu agak menggebrak meja. "Lagian juga, atas dasar apa lo nebak kalau gue HIV?"

Mengedikkan bahu, Semesta membalas, "Karena lo nanya apa gue bakal ngejauhin lo atau enggak kalau gue tahu lo sakit apa. Pasien HIV 'kan sering dijauhin masyarakat karena penyakitnya. Ditambah lagi, pasien HIV juga ngerasa kalau dirinya nggak bakal diterima sama masyarakat. Alias harga diri rendah. Makanya, kalau di rumah sakit lo ketemu pasien HIV, mereka biasanya lebih diam dan nggak gampang dideketin."

Kafka meringis pelan. Nyatanya, jawaban Semesta juga tidak salah. Justru, ia yang salah karena sudah berbicara ambigu. Lantas, Kafka berdeham.

"Tapi, gue bukan HIV," jelas Kafka. "'Kan tadi lo sendiri yang bilang kalau gue keliatan sehat. Kalau emang gue HIV, apa gue bakal keliatan normal kayak orang lain?"

KelabuWhere stories live. Discover now