Bagian 60

1.2K 152 17
                                    

Terkadang, Semesta berpikir ingin mengakhiri hidupnya sendiri

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Terkadang, Semesta berpikir ingin mengakhiri hidupnya sendiri. Mengikuti jejak Kafka yang terkadang memiliki hobi untuk memainkan benda tajam dan menggoreskannya ke lengan. Sering terlihat masuk ke kampus dengan kemeja berlengan panjang, namun dahulu Semesta tidak terlalu mengerti—atau bisa dibilang, tidak terlalu peduli. Mungkin laki-laki yang juga hobi menggigit sedotan atau memakan es batu itu memiliki alergi dingin. Terkadang tidak masuk, yang mungkin sekaligus mengambil jatah membolos.

Lalu, lamunan Semesta kembali melayang. Dunia ini tetap berjalan begitu saja. Ketika Semesta dirawatndi rumah sakit tempo hari, semuanya tetap berjalan seperti biasa. Teman-temannya tetap berkuliah, bundanya tetap bekerja, dan matahari tetap terbit dari timur ke barat. 

Semesta lantas menarik konklusi, jika ia mati sekalipun, semuanya tidak akan berubah. Bundanya mungkin akan bersedih untuk sementara waktu, namun kehidupannya tetap berlanjut. Ia harus sesegera mungkin melupakan Semesta dan membangun hidup yang baru. Tidak akan ada lagi anak yang membuatnya kerepotan dan selalu menghabiskan uang. Tidak akan ada lagi masakan untuk porsi dua orang di atas meja makan. Itu mungkin ... akan sedikit mengurangi beban yang ditanggung oleh Sasi.

Kematiannya mungkin ... tidak akan seburuk itu.

"Katanya teman-teman kamu mau datang hari ini." Suara Sasi yang sedang melipat selimut tiba-tiba menghancurkan pemikiran Semesta. Ia melirik Semesta yang sejak tadi termenung. Entah apa yang dipikirkan putra satu-satunya itu, Sasi tidak tahu. Namun, wajah yang biasanya tampak berseri itu sejak tadi pagi agak berbeda. "Bunda mau siapin camilan. Tolong kabarin lagi, ya."

"Hm, iya."

Bukan, bukan. Lebih tepatnya, semenjak Semesta dinyatakan sakit beberapa bulan lalu. Awalnya, Semesta masih biasa saja. Laki-laki itu terkadang tampak bersedih, namun hanya sesaat. Puncaknya tadi pagi, ketika Sasi berniat untuk mengajak Semesta berkeliling kompleks rumahnya.

Semesta sudah terlalu lama berada di rumah. Jarang terkena sinar matahari dan menghirup udara segar. Jika tidak berbaring di atas tempat tidur sembari memainkan ponsel atau sesekali bernyanyi dengan bahasa yang tidak Sasi mengerti, atau duduk di meja belajar. Masih mempelajari materi kuliah yang dikirimkan oleh teman sekelasnya. Mencoba meyakini jika suatu hari nanti ia akan kembali menggeluti dunia yang secara tidak sengaja Semesta masuki.

Namun, sepertinya pilihan Sasi sedikit salah. Semesta tidak selalu mampu untuk berdiri di atas kakinya sendiri. Pagi tadi, mungkin karena efek tidur terlambat semalam, rasanya Semesta terlalu lemas—plus malas. Ia akhirnya mau mengikuti Sasi, meski berakhir dengan hanya duduk-duduk di ayunan taman dekat rumahnya. Sasi mengobrol dengan tetangganya sambil berbelanja. Sesekali, terlihat melirik Semesta. Sekiranya jika ingin membicarakan orang lain, jangan terlalu keras. Namun, kali ini Semesta dapat mendengarnya dengan jelas. Ia mungkin kesulitan untuk bergerak, tetap untuk pendengaran, Semesta dapat menjamin jika indranya itu masih berfungsi sempurna.

Mereka membicarakan Semesta. Padahal, laki-laki itu duduk tidak sampai sepuluh meter di hadapan mereka. Sasi tidak membalas seluruh ucapannya, hanya sesekali tersenyum dan mengangguk atau menggeleng. Tampak berusaha untuk tidak terlalu menghabiskan energinya di pagi yang cerah ini.

KelabuWhere stories live. Discover now