Bagian 4

4.9K 553 17
                                    

Prosopagnosia

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Prosopagnosia. Salah satu kelainan saraf yang menyebabkan penderitanya sulit mengenali wajah seseorang, bahkan wajahnya sendiri. Ditambah lagi, penderita akan sulit untuk mengenali emosi seseorang. Bisa disebabkan karena faktor genetik, cedera di otak, maupun karena stroke.

Dan Kafka adalah salah satu penderitanya.

Hal itu kadang menjadi salah satu penghambat bagi Kafka untuk bersosialisasi. Belum lagi, tuntutan baginya yang kini berkuliah di salah satu bidang yang mewajibkan Kafka untuk sering berinteraksi dengan orang lain yang belum dikenalnya. Seringkali dianggap sombong karena tidak menyapa, padahal bisa mengenali saja tidak. Meski sempat merasa terbebani karena kekurangannya, pada akhirnya Kafka hanya bisa menerima.

"Semesta?!" Kafka mengerjapkan kedua matanya tidak percaya. Sama sekali tidak menyangka jika orang yang duduk di hadapannya ini adalah laki-laki yang sudah menjadi teman sekelasnya sejak lama. "Lo ... lo yang bakal jadi saudara tiri gue?"

"Kafka udah kenal sama Semesta?" Azri bertanya. Ia bergantian menatap sang putra, kemudian beralih pada Semesta. Tanda tanya tampak menari di kedua bola mata hijaunya yang bersinar lembut. 

"Tapi nggak tahu mukanya," jawab Kafka asal. Dengan kedua lengan terlipat di depan dada, ia menyandarkan tubuhnya. "Pakai sok-sokan nggak kenal pula. Emangnya gue bisa ngenalin lo?"

Semesta lantas berdecih. Ia paling tidak suka jika Kafka sudah mulai berbicara panjang. Nadanya terdengar menyebalkan terutama ekspresinya. 

Melihat tanggapan Semesta, Sasi langsung menyenggol lengan laki-laki tersebut. Lirikannya tajam, kebiasaannya kalau anaknya itu mulai berulah.

"Kok, kamu tadi ngomong kalau nggak kenal sama Kafka, sih?" Lalu, wanita yang kini sudah menginjak kepala tiga itu memiringkan tubuhnya dan menggoyangkan lengan Semesta. "Kenapa kamu nggak bilang?"

"Kenapa heboh banget sih, Bun?" 

"Tante lucu, deh."

Jawaban yang kontradiktif itu sontak mengundang tatapan heran dari Semesta dan Sasi. Keduanya kemudian saling menatap. Senyum Sasi muncul, bukan karena hidangan yang akhirnya tiba, tapi karena ucapan singkat yang keluar dari bibir Kafka begitu saja.

"Semesta nggak pernah bilang begitu ke Tante." Kedua manik legam Sasi tampak berbinar lembut. "Ini anak nih, kerjaannya ngedumel mulu."

Kafka terkikik geli, merasa hangat karena tatapan Sasi yang penuh kasih sayang. Rasanya tidak sama seperti dengan bundanya. Semua terasa berbeda, bahkan ketika makan malam singkat itu berakhir.

"Tante Sasi ... baik, ya?" Kafka bergumam pelan. Kedua netra yang berwarna sama dengan milik sang ayah terus menatap jalanan yang kini lenggang. "Andai aku bisa ngenalin gimana wajahnya. Dia pasti cantik banget ya, Yah?"

Helaan napas Azri terdengar. Untung saja, malam ini berakhir baik. Apalagi respon dari Kafka yang menunjukkan kalau ia mampu untuk menerima Sasi. Walau tampaknya Kafka dan Semesta tidak begitu akur, tapi Azri yakin hubungan itu dapat diperbaiki seiring berjalannya waktu.

KelabuWhere stories live. Discover now