Bagian 39

1.9K 279 29
                                    

Kak Semesta

¡Ay! Esta imagen no sigue nuestras pautas de contenido. Para continuar la publicación, intente quitarla o subir otra.

Kak Semesta

Kayaknya gue nggak kuliah lagi.

"Aneh ...." Kafka bergumam pelan, membaca tulisan di layar ponselnya yang tergeletak di sampig laptop. Ia mengernyit heran, sebelum akhirnya memilih opsi telepon. Tapi, baru beberapa detik, Kafka mengurungkan niatnya dan menekan tombol power. Rasanya, terlalu mengganggu jika ia menelepon tengah malam begini.

Yah, kenapa pula Semesta malah mengiriminya pesan jam segini?

Tak lama, ketika Kafka kembali mengecek ruang obrolannya dengan Semesta, pesan itu telah terhapus. Hanya ada sisa jejak bahwa laki-laki yang lebih tua setahun darinya itu mengiriminya pesan, tapi isinya telah ditarik.

"Ini anak kenapa, sih?" Kafka berucap pelan. Ia mengambil ponselnya, menggenggamnya dengan erat, sebelum pada akhirnya melemparnya ke atas tempat tidur.

Sebentar, tugasnya masih menunggu untuk dikerjakan.

•••

Semesta tiba-tiba menggelengkan kepala, tanpa sebab yang pasti. Ia meletakkan ponselnya kembali di atas nakas. Walau tahu bahwa Kafka sudah membaca pesannya barusan, tapi Semesta tetap menghapusnya. Padahal, hal itu malah membuat orang lain makin kepikiran.

"Udah liatin hape-nya?"

Semesta melirik Sasi yang duduk di kursi meja belajar. Ia lantas melempar benda tersebut. Senyumnya mengembang, lalu ia menepuk sisi kosong di sebelah tempat tidurnya.

"Bunda duduk sini."

Alis Sasi tertaut heran. Padahal, biasanya Semesta hobi mengusirnya. Kini, laki-laki itu malah menyuruhnya untuk duduk di sana. Perlahan, Sasi bangkit, masih merasa aneh pada tingkah Semesta yang berbalik 180 derajat.

"Kenapa?" tanya Sasi. Ia tetap mendudukkan tubuhnya di sebelah Semesta perlahan. Hendak mengusap puncak kepalanya, tapi laki-laki yang usianya belum mencapai dua puluh itu sudah lebih dahulu merentangkan tangan dan melingkarkannya ke pundak Sasi.

"Kamu kenapa?"

"Mau begini sebentar aja, boleh?"

Sasi tidak menjawab, membiarkan Semesta berada pada posisinya. Tangannya mengusap punggung sang putra perlahan, sebelum akhirnya membalas pelukannya.

"Kamu lagi ada masalah? Tumben manja banget."

"Aku cuma lagi mau meluk Bunda. Boleh 'kan?" Kedua kelopak Semesta terpejam, merasakan kehangatan yang Sasi berikan. "Gimana, ya, kalau aku nggak bisa meluk Bunda lagi? Gimana kalau aku nggak bisa ketemu Bunda lagi?"

Pertanyaan Semesta langsung membuat Sasi tertegun. Ia bahkan tidak pernah membayangkan hal semenyakitkan itu. Meninggalkan Semesta tidak pernah terbersit di pikirannya sekalipun.

"Emang Bunda mau ke mana, sih, sampai kamu nggak bisa ketemu Bunda?" Sasi bertanya, terkekeh perlahan untuk mencairkan suasana.

"Aku takut Bunda tiba-tiba ninggalin aku karena aku nggak berguna. Aku udah nggak bisa lihat masa depan di diri aku." Lirih suara Semesta terdengar, menjawab pertanyaan Sasi yang bahkan tidak perlu jawaban. "Aku nggak bisa bikin Bunda bangga dan aku nggak suka itu. Mungkin nggak sekarang, tapi aku takut Bunda nantinya bakal mikir kalau aku nggak pantas ada."

"Akhir-akhir ini kamu ngaco mulu, ya, kalau ngomong." Sasi melepaskan pelukannya. Tangannya menjawil hidung Semesta gemas, sebelum menangkup kedua pipi sang putra. Setelah ini mungkin Sasi harus membantu Semesta untuk kembali meningkatkan harga dirinya.

Semenjak kedua tungkainya semakin melemah, Semesta lebih sering tinggal di kamarnya. Surat izin sudah dikirimkan ke dosen-dosen pembimbingnya dan ia juga sudah diberikan tugas tambahan. Mungkin, kemudian Semesta kembali mampu untuk berkuliah, tanpa adanya keluhan. Seperti sebelumnya.

Hanya itu yang Sasi inginkan.

Sesederhana itu.

"Tapi ... benar 'kan?"

"Semesta, mending kamu diam sekarang." Kedua manik Sasi menusuk tepat di iris legam Semesta.

Seolah mengambil haknya untuk bersuara, bibir Semesta terkatup. Ia menunduk, berusaha memutus kontak mata dengan Sasi. Lalu, helaannya terdengar.

"Maafin aku, Bun." Semesta bergumam lirih. Ia menepis tangan Sasi yang masih setia di pipinya. Dipaksakannya seulas senyum. "Kurang berapa bulan lagi sebelum pernikahan Bunda?"

"Empat—tiga bulan lagi."

"Sebentar lagi, ya ...." Semesta meraih tangan Sasi, lalu menggenggamnya erat. "Kalau gitu, Bunda nggak usah pikirin aku. Nggak usah pikirin soal kuliah aku. Entah aku bisa lanjut lagi atau nggak, nanti biar aku yang jalanin. Bunda cukup bahagia aja. Nggak usah pikirin yang lain."

Mana mungkin Sasi bisa?

Ketika melihat senyum Semesta, pertahanan Sasi akhirnya runtuh. Kedua maniknya yang sudah berkaca-kaca justru makin parah hingga setetes cairan mengalir dari sudutnya. Bagaimana caranya ia bisa bahagia ketika Semesta sedang berada pada titik terendahnya?

"Mungkin kamu nggak mau, tapi Bunda bakal berusaha cari cara biar kamu bisa sembuh," ucap Sasi. Disingkapnya poni Semesta yang hampir menutupi matanya. "Bunda nggak bakal berhenti. Walau kamu nggak mau, Bunda nggak peduli."

Semesta tertegun. Menyadari bahwa Sasi tidak sejalan dengan pikirannya. Namun, mau tidak mau senyumnya terbit. Meski tidak menggantungkan harapannya, Semesta tetap mengangguk.

"Iya, Bunda."

[To be continued]

A/n

Kangen.

Perjalanan aku ngetik ini panjang juga. Mulai dari ruang ranap, ke poli jantung, ke poli bedah, sampai di poli penyakit dalam, dan baru selesai malam ini :")

Kasih aku pesan!!

Note; jangan nyuruh update cepat atau panjang-panjang wkwkwk

KelabuDonde viven las historias. Descúbrelo ahora