Bagian 15

3K 353 22
                                    

"Untuk kelompok dan pembimbingnya nanti akan saya kirimkan ke siepend saja, ya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Untuk kelompok dan pembimbingnya nanti akan saya kirimkan ke siepend saja, ya. Dan untuk modul akan diberikan hari Jumat." Bu Ayun, penanggung jawab mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah, berucap. Netranya memperhatikan layar laptop yang menyala. "Untuk dinasnya nanti selama tiga minggu, di tiga ruangan yang berbeda. Ujian dilaksanakan di minggu ketiga diawasi oleh pembimbing dan CI masing-masing ruangan. Selebihnya masalah responsi bisa dibicarakan dengan pembimbing masing-masing."

Semesta menghela napas panjang dan kemudian menidurkan kepalanya di atas meja kecil. Tangannya mengetuk permukaan buku yang terbuka, tetapi tidak ditulisnya sama sekali.

"Bayangin kalau dapat dosen pembimbingnya Bu Ayun." Daffa berucap dengan pandangan menerawang. Lalu, ia bergidik. Membayangkan dosen yang mendapat gelar dosen tergalak di Jurusan Keperawatan itu ternyata cukup membuatnya merinding.

"Bukannya doi jadi pembimbing lo semester lalu?"

"Iya." Daffa mengangguk. "Tiba-tiba ngirim pesan dan bilang kalau doi udah nunggu di ruang diskusi. Sementara itu masih hari Selasa dan askep lo masih kosong. Apa nggak bikin merinding?"

Semesta terkekeh pelan. Ia tidak tahu bagaimana rasanya dibimbing oleh dosen yang gelarnya lebih panjang dari namanya sendiri itu. Tapi, di lain sisi, ia juga berharap sama—tidak mendapati nama Bu Ayun sebagai pembimbingnya.

"Doa yang terbaik biar dinas kali ini lebih tenang," ujar Semesta. "Dosen pembimbingnya udah enak, perawat ruangannya yang nggak enak."

"Jangan ngomong jorok dulu, Ta." Sinta yang sedari tadi menyimak, langsung berkomentar. "Gue udah pengalaman dapat kakak perawat yang julid banget. Bikin malas. Untung cuma seminggu di ruangan itu."

Semesta melirik Sinta dan tertawa pelan. Memang benar sih, jarang sekali mendapat dua kenikmatan semacam itu secara bersamaan. Jarang, bukan tidak mungkin.

"Gue cuma berharap nggak dapat kelompok yang terlalu ambisius. Capek banget ngikutinnya," ujar Daffa.

"Karena lo malas," sindir Semesta. Ia menunjuk Daffa dengan pulpennya. Walau kemudian, benda itu terlepas begitu saja dari tangannya. "Coba kalau enggak, pasti enak."

Daffa meringis pelan. Ucapan Semesta ada benarnya juga. Pasalnya, ia biasa mengisi modulnya ketika sudah mendekati akhir minggu. Jelas-jelas, pembimbing suka datang tiba-tiba.

"Iya, iya. Nggak usah dilanjutin." Daffa mendengkus. Ia meraih pulpen yang tadi jatuh dari genggaman Semesta. "Nih, pulpen lo."

"Oh, iya. Thanks." Semesta menerima pulpennya kembali. Ia memandang layar proyektor yang menampilkan rencana pembelajaran semester. Lama, pikirannya berkelana.

Dinasnya nanti ... akan seperti apa, ya?

•••

"Tehnya dijus pakai susu sedikit, ya, Bu." Kafka meletakkan uang dua ribuan ke atas meja. Senyum lebar yang membuat matanya menyipit terlihat. "Kayak biasa, susunya sedikit aja. Aku tunggu di sana, ya. Makasih Bu."

Merasa tidak nyaman dengan keramaian kantin, Kafka langsung berjalan menuju meja kosong yang ada di ujung. Ia meraih ponsel dari saku seragam putihnya dan membuka notifikasi. Bukan notifikasi baru, tapi sudah satu jam yang lalu.

Ayah

Hari ini mau dibawain makan apa?

Senyum sendu tampak menghiasi wajah Kafka. Ia tidak berniat untuk membalas pesan itu. Lagipula, biasanya Azri akan melupakan pesanannya dan akhirnya meminta maaf, berkata bahwa besok akan membelikan, tapi berujung dengan lupa untuk yang kesekian kalinya.

"Ini tehnya, Mas."

"Makasih, Bu."

Kafka meraih sedotan dari dalam gelas, kemudian menggigitinya. Jemarinya secara asal menggulir layar ponsel, tanpa tujuan sama sekali.

"Eh, duduk di sana aja." Samar-samar suara yang Kafka kenali sebagai teman sekelasnya terdengar. Ia mengangkat kepala, mencari asal suara. Namun, terlalu banyak orang dan terlalu banyak yang berbicara.

"Kafka!" Seseorang kembali berbicara, kali ini sambil menyebut namanya. Tak jauh dari posisi Kafka berada, seseorang melambaikan tangan. Dengan canggung, Kafka ikut mengangkat tangannya. Hingga tidak lama, tiga orang berdiri di hadapan Kafka.

"Numpang duduk di sini boleh, ya," ucap seorang perempuan, seraya meletakkan botol minumnya di atas meja.

"Sinta, ya?" Kafka bertanya. Ia mengenal suara itu sebagai suara Sinta, tapi akibat dari kondisi kantin yang berisik, suaranya jadi tersamarkan. "Sama ... siapa?"

"Wah, lo ngenalin gue. Hebat!" seru Sinta semangat. "Ini Daffa sama Semesta. Mereka—"

"Kak Semesta?" Kafka mengerjap. "Ah, please, take a seat."

"Kak ...?" Sinta menatap Kafka dan Semesta secara bergantian, lalu memilih untuk tidak peduli. "Gue mau beli makan dulu, ya. Nggak ada yang mau nitip?"

Daffa menepuk pundak Sinta. "Gue mau nitip mie ayam pakai bakso gede, jangan pakai daun bawang, nggak pakai pangsit, ganti batagor aja. Kuahnya—"

"Daf, mending lo ikut," sela Sinta sebelum Daffa menyebutkan pesanannya secara lengkap. "Semesta mau apa? Sekalian dibayarin Daffa."

"Kok, gue?"

"Samain aja, deh." Semesta duduk di bangku, lalu mengeluarkan ponselnya. Sementara Sinta dan Daffa berlalu begitu saja.

Kafka menatap Sinta dan Daffa yang menjauh, lalu beralih pada Semesta. "Lo udah lihat kelompok KMB?" tanyanya membuka percakapan. "Gue dapat di Anggrek, Melati, sama di Mawar."

"Mawar, tuh, yang ada perawat bule yang merembet di tembok, bukan?" Semesta membalas, tidak terlalu berkaitan dengan topik yang Kafka angkat. Ia mengunci layar ponselnya dan meletakkannya di atas meja. Sepenuhnya, kedua netra menatap Kafka.

Kafka mengangguk pelan. Ia berhenti menggigit sedotannya. "Iya, yang itu. Seram 'kan, ya?"

Semesta mengedikkan bahu. "Tapi, nggak ada dinas malam, 'kan? Paling cuma dinas sore," ujarnya. Ia mengetuk layar ponsel dua kali, hingga membuat benda pipih tersebut menyala. "Gue kelompok satu, minggu pertama langsung sama Bu Ayun."

"Selamat!" seru Kafka. Ia tertawa pelan sebelum akhirnya menyedot tehnya yang mulai mencair. "Gue dapat pembimbingnya enak semua. Paling di minggu kedua, sama Bu Bila yang agak tegas. Selebihnya santai."

Semesta menghela napas panjang. Ia melipat kedua lengannya di atas meja dan membaringkan kepala. "Semoga gue masih bisa bertahan sampai selesai dinas."

"Dan setelah KMB langsung dihantam sama Maternitas. Lengkap rasanya semester ini."

"Hm." Semesta bergumam pelan. Ia mengangkat kepalanya dan tersenyum miring. "Semoga gue masih bisa hidup, deh, sampai lulus nanti. Atau enggak, jangan sampai gue lulus dengan tiga gelar."

Dari apa yang Kafka tangkap, rasanya ucapan Semesta tidak begitu meyakinkan. Intonasinya yang berubah lesu dan gerak-gerik tubuhnya menunjukkan bahwa sebenarnya Semesta juga tidak tahu apa ia akan bisa lulus atau tidak. Namun, Kafka tetap mengangguk. Mengiyakan segala ucapan Semesta.

"Iya, Kak. Pasti itu."

•••

Note

CI: Clinical instructur. Jadi sejenis pembimbing di ruangan. Biasanya kepala ruangan juga berperan jadi CI.

[To be continued]

A/n

Aku lupa ruangan yang ada suster bule merembet namanya ruang apa 😭 dahlah gapapa wkwkwk

Enjoy!

KelabuWhere stories live. Discover now