epilog

2.1K 188 31
                                    

"Kak?" Kafka memanggil, tepat ketika ia menutup laptop

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Kak?" Kafka memanggil, tepat ketika ia menutup laptop. Pertemuannya dengan dosen hari ini akhirnya selesai dengan lancar. Walau sedikit terkena omelan di awal, karena sejak kemarin tidak ada anggota kelompok yang merespon ketika dipanggil di grup besar.

Semesta benar-benar terlelap. Dadanya naik turun beraturan. Rasanya Kafka jadi tidak tega untuk membangunkannya. Laki-laki itu pasti sangat lelah. Karena walau tidak banyak yang ia lakukan, namun kehidupan yang harus dilaluinya benar-benar menyiksa.

Senyum Kafka lantas terulas. Ia menyimpan kembali laptopnya di dalam tas. Lalu, kembali duduk di posisi semula.

"Lo tadi bilang makasih, tapi gue nggak bilang makasih juga." Kafka terkikik geli. Tubuhnya perlahan merosot, hingga berakhir pada posisi berbaring. Kedua tangan Kafka menjadi bantal di belakang kepalanya. "Seharusnya, gue bilang makasih juga, Kak. Makasih karena udah bertahan selama ini. Makasih juga karena udah mau jadi kakak buat gue. Gue mungkin kekanakan, tapi gue senang banget bisa punya seseorang yang gue anggap sebagai keluarga."

Kafka menghela napas perlahan. Keluarga ... mungkin sudah tidak ada di pikirannya lagi. Terlebih, Kafka sudah cukup dewasa untuk memahami bahwa pada akhirnya ia akan sendiri di dunia ini.

"Gue nggak nyangka, orang yang udah gue kenal sejak masih bocah, yang hobinya ngejulidin gue, malah jadi saudara tiri gue sendiri." Kafka tertawa pelan, merasa lucu karena jalan hidupnya. Siapa yang bisa mengira lawan debatnya malah menjadi kakaknya?

"Jangan mati cepat-cepat, ya, Kak. Biarin gue nikmatin waktu-waktu bahagia ini dulu." Kafka lanjut bermonolog, meski berharap Semesta tidak mendengarnya. Mau ditaruh di mana mukanya jika Semesta tiba-tiba bangun?

"Gue bersyukur banget karena masih dikasih kesempatan buat hidup, walau gue sendiri yang coba buat ngakhirin hidup gue sendiri. Ternyata, ini alasannya. Biar gue bisa dapat kebahagiaan kecil di hidup gue."

Kafka tidak tahu lagi apa kata yang tepat untuk mendeskripsikan perasaannya. Senyumnya sejak tadi tampak tersungging. Seolah, Kafka tidak lelah menunjukkan pada dunia bahwa ia sedang bahagia.

"Jangan lupa bangun, Kak. Karena kalau lo nggak bangun ... mungkin gue akan kehilangan dunia gue lagi."

•••

Tubuh Semesta remuk. Ketika ia terbangun dari tidur singkatnya dan berusaha untuk duduk, rasanya Semesta tidak sanggup, hingga ia memilih untuk mengubah posisi menjadi bersandar di dinding. Napasnya sedikit sesak, yang mungkin karena efek kelelahan. Selain kepalanya yang juga terasa pening, Semesta merasa ia baik-baik saja.

"Pusing," keluhnya. Semesta memijat keningnya sendiri, sebelum kembali berusaha untuk berdiri. Ia jadi menyesal karena barusan memutuskan untuk tidur sebentar.

Suara dering ponsel sejak tadi terdengar, menjadi salah satu alasan Semesta membuka matanya malam ini. Ia memperhatikan ruangan kecil yang kini hanya ditempatinya sendiri, sebelum mendapati ponselnya tergeletak di lantai, tepat di sebelah bantal.

KelabuWhere stories live. Discover now