Bagian 10

3.5K 409 10
                                    

Semesta diam, memperhatikan Sasi yang tampak kerepotan saat membereskan pecahan lampu yang secara tidak sengaja terjatuh saat Semesta kehilangan keseimbangannya

¡Ay! Esta imagen no sigue nuestras pautas de contenido. Para continuar la publicación, intente quitarla o subir otra.

Semesta diam, memperhatikan Sasi yang tampak kerepotan saat membereskan pecahan lampu yang secara tidak sengaja terjatuh saat Semesta kehilangan keseimbangannya. Inginnya membantu, tapi Sasi tidak memperbolehkan sama sekali. Lalu, perhatian Semesta jatuh pada lebam yang mulai muncul di lututnya.

"Sini aku bantu," ucap Semesta sekali lagi. Ia ingin bangkit, namun gestur menolak yang Sasi tunjukkan membuatnya kembali berhenti.

"Jangan." Sasi berucap lirih. Ia mengambil pecahan kaca yang ada di dekat kakinya, lalu memasukkannya ke dalam kantung plastik. "Nanti tangan kamu luka."

Helaan berat napas Semesta menyertai gerak tubuhnya yang bangkit dari kursi. Setelahnya, Semesta berlutut, tepat di sebelah Sasi. Tangannya meraih jemari Sasi yang ternodai darah.

"Tangan Bunda sendiri sampai luka gini," lirih Semesta. Dengan cepat ia bangkit, lalu mengambil tisu yang ada di atas meja makan. Tanpa menunggu aba-aba, Semesta membersihkan jari Sasi. Tidak berani sedikit pun ia menangkap ekspresi sang bunda. "Maafin aku, ya."

"Nggak apa-apa. Nggak usah minta maaf," balas Sasi. Suaranya terdengar bergetar, meski tidak terlalu kentara. "Duduk sana."

"Tapi, maafin aku. Aku ceroboh barusan."

Sasi mengusap lengan Semesta perlahan. Ia menatap sang putra dalam-dalam tepat di maniknya, lalu tersenyum lembut. "Nggak apa-apa," ucapnya sekali lagi. Walau sebenarnya khawatir karena Semesta jatuh tanpa sebab, namun Sasi tidak ingin berpikir yang aneh-aneh. Memang Semesta saja yang ceroboh, seperti katanya barusan.

"Hari ini kamu ada kuliah, 'kan? Siap-siap sana," titah Sasi. Ia mengacak surai gelap Semesta dengan lembut. "Nanti, kalau sarapannya udah siap Bunda panggil."

Semesta tidak ingin beranjak, tapi perintah Sasi sudah final. Tidak mau membantah, Semesta langsung bangkit. "Kalau ada yang bisa aku bantu, panggil aku juga nggak apa-apa, Bun," ujar Semesta. "Aku ... ke kamar dulu, ya."

"Hati-hati. Jangan sampai jatuh lagi, apalagi sampai ngejatuhin perabotan."

Semesta bergumam pelan, sebelum akhirnya melangkah menuju kamarnya, meninggalkan Sasi yang masih berlutut di depan nakas. Sementara wanita itu membereskan serpihan kaca di lantai, Semesta hanya bisa menatap punggungnya yang tampak rapuh. Senyumnya tanpa sadar terbit, seiring dengan lompatannya menaiki anak tangga.

Di lain sisi, Sasi terdiam. Tangannya yang dingin perlahan mengepal. Ia menggigit bibir bawahnya lembut.

"Kenapa ... sama kayak dulu?"

•••

Kafka tidak tahu berapa lama ia tertidur. Ketika tangannya menyingkap tirai, sinar matahari langsung menerobos melalui jendela dan membuat Kafka menyipitkan matanya. Dengan cepat, ia menoleh, memperhatikan jam dinding.

KelabuDonde viven las historias. Descúbrelo ahora