Bagian 59

1.4K 171 13
                                    

Kafka sudah berjanji akan datang kembali menjenguk Semesta

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kafka sudah berjanji akan datang kembali menjenguk Semesta. Kebetulan pula, laki-laki itu diperbolehkan pulang. Pasalnya, perawatan sekian lama juga tidak memberikan hasil yang signifikan. Tentu dengan catatan, jika keluhan sesaknya kembali muncul, Semesta diwajibkan untuk kembali ke rumah sakit.

Dengan membawa tas berisi baju-bajunya.

Setidaknya, Semesta bisa kembali ke rumah. Berbaring di atas ranjangnya yang terasa dingin. Sudah tiga minggu tidak ditempati dan Semesta sangat rindu dengan tempat favoritnya tersebut.

Kafka duduk di meja belajar Semesta. Menghela napas panjang setelah membantu laki-laki yang bobot tubuhnya berada di angka enam puluhan. Tidak seberat sebelumnya, namun harus Kafka akui, ia harus mengeluarkan energi tambahan.

"Gue kangen banget." Senyum Semesta terulas lebar. Tidak pernah ia merasa sesenang hari ini. Berminggu-minggu berada di tempat yang isinya hanya kesedihan—dan ada kebahagiaan, tapi Semesta tidak dapat merasakan itu. Tidak bertemu orang lain selain bundanya, perawat, dokter, ahli gizi, analis kesehatan, fisioterapis, dan—

"Lo pasti senang bisa pulang," celetuk Kafka. Ia menatap Semesta, ikut tersenyum walau tidak tahu raut wajah laki-laki tersebut. Dari nada bicaranya, Kafka sendiri bisa mendengar kebahagiaan. Tidak tahu apa ada yang ditutupi, tapi Kafka yakin tercetak senyuman tulus di wajah Semesta.

Semesta menarik bantal yang ada di dekatnya. Meletakkannya di atas kepala dan tertawa pelan. "Gue nggak tahu ternyata rasanya bahagia banget bisa tidur di rumah," ucap Semesta. Ia menatap langit-langit kamar yang dihiasi benda langit. "Gue nggak boleh sampai balik lagi ke sana. Gue harus bisa terus tidur di rumah."

"Ya, jangan balik lagi ke sana." Kafka bangkit dari kursinya.

"Lo juga jangan gitu lagi." Tawa Semesta mereda. Ia menarik tubuhnya agar bisa bersandar di sandaran tempat tidur. Kedua manik matanya melirik ke arah pergelangan tangan Kafka. "Kirain lo pernah janji buat nggak ngulang lagi. Ternyata masih aja, ya?"

Senyum Kafka luntur. Lengan jaketnya diturunkan, hingga menutupi pergelangan tangan. "Maaf," gumamnya perlahan. "Gue belum bisa sepenuhnya berhenti ternyata. He-he."

"Percuma lo minta maaf. Besok juga diulang," cibir Semesta. Ia memejamkan mata, kemudian kembali menatap Kafka. Ketika kedua maniknya bersitatap, Kafka langsung beralih. "Apa ... gara-gara gue lagi?"

Kafka menggeleng pelan. "Enggak," jawabnya singkat. Tidak mungkin ia bicara kalau ada yang menyuruhnya untuk kembali menyakiti diri, berharap dirinya kehilangan nyawa, dan tidak perlu kehilangan lagi. "Cuma gara-gara ... capek."

Kedua kelopak mata Semesta menyipit. "Nggak mungkin," sanggahnya. "Nggak mungkin cuma gara-gara capek, lo—"

"Lo nggak tahu apa-apa, Kak," sanggah Kafka. "Lo nggak tahu gimana rasanya jadi gue. Bahkan, lo nggak tahu gimana rasanya jadi penderita BPD. Dan—maaf."

Semesta tidak lagi bersuara. Ia memilih untuk menaikkan selimut, menutupi kepalanya. Dingin dirasakan seluruh tubuh hingga membuat Semesta hampir menggigil.

Detik demi detik berlalu. Semesta tenggelam dalam pikirannya dan Kafka menyesali ucapannya barusan. Keduanya diam, membiarkan suara dari jam dinding yang menjadi pengisi.

Lalu, tangan Kafka meraih Semesta. "Kak, maaf, ya," lirih Kafka. "Gue selalu minta maaf, selalu ngulang lagi. Gue harus belajar buat nahan diri gue sendiri."

Semesta sedikit terkejut ketika merasakan tangan Kafka yang dingin. Ia menarik kembali tangannya dan menutupinya dengan selimut. Hangat dan cukup membuatnya mengantuk.

"Ya, emang harus."

"Gue dari kemarin kepikiran. Apa gue harus kehilangan lagi? Pertama bunda gue, apa gue harus kehilangan lo juga?" Kafka berujar. Pelan, namun Semesta masih dapat mendengarnya. "Kita udah kenal lama, gue anggap lo sebagai seorang kakak. Mungkin, orang-orang nggak tahu gue sebaik lo. Gue senang banget karena bisa kenal sama lo, bertahun-tahun. Udah berapa tahun sih, sekarang?"

Semesta mengangkat kedua pundaknya. Tidak terhitung lagi sejak lama. Keduanya memang tidak terlalu akur, tapi Semesta harus akui, ucapan Kafka ada benarnya juga.

Terbiasa sendirian, satu-satunya anak di keluarga—bahkan keluarga besar, dan Semesta tidak punya teman lagi selain teman sekelasnya. Semenjak rencana pernikahan kedua orang tuanya, yang berakhir dengan kegagalan, Semesta menganggap Kafka sebagai seorang adik. Seseorang yang menyebalkan, ingin Semesta jauhi, tapi jika terjadi sesuatu yang buruk, Semesta juga ikut takut.

Sama seperti Kafka, Semesta tidak ingin merasakan kehilangan. Apalagi kehilangan seseorang yang sudah dianggapnya sebagai saudara sendiri.

"Nggak ada dari kita yang bakal pergi duluan," ucap Kafka final. Tangan kanannya yang mengepal beradu dengan telapak tangan kirinya. "Dua tahun lagi kita lulus—"

"Lo doang yang lulus. Gue enggak."

"Kita lulus kuliah." Kafka tidak peduli dengan sanggahan Semesta dan melanjutkan. "Terus, kerja, dapat uang, jalan-jalan, makan-makan enak, belanja yang banyak. Beli rumah, beli mobil, beli semuanya!"

Kafka, lo terlalu optimis.

"Sampai saat itu, kita berdua bakal masih hidup, dan bahagia." Kedua manik hijau Kafka berbinar lembut. Ia menyodorkan kelingking kirinya. "Janji, ya, bakal tetap hidup sampai saat itu."

Semesta membalas uluran kelingking Kafka. Ia tertawa pelan. "Iya, iya, deh. Janji."

Namun, janji hanyalah janji belaka.

•to be continued•

A/n

SELAMAT TAHUN BARU SEMUANYAAAA 🎉🎉

ASIK BENTAR LAGI AKU 23 WKWKWKWK GAK KAYAK ANAK ANAK AKU YANG KEBANYAKAN—

MAAP

Total udah hampir dua tahun Kelabu nemenin kita, dari aku masih kuliah sampai sekarang jadi pengangguran wkwkwkwk. Tapi belum klaar juga. Semoga aja sebelum aku berangkat, cerita ini selesai.

Gila, aku beneran tumbuh dan berkembang sama kamu semua :") aku sampai hafal sama yang suka muncul di notif wkwkwk SAYANG BANYAK BANYAK

KelabuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang