Bagian 61

1.1K 160 28
                                    

"Gue bantuin bunda lo beberes dulu, baru balik

¡Ay! Esta imagen no sigue nuestras pautas de contenido. Para continuar la publicación, intente quitarla o subir otra.

"Gue bantuin bunda lo beberes dulu, baru balik." Kafka menumpuk piring kotor yang isinya sudah tidak tersisa. Ia melirik Semesta dan menghela napas panjang. "Sorry banget. Kayaknya dengan datangnya kita ke sini malah bikin lo sedih."

Teman-teman mereka sudah pulang sejak sepuluh menit yang lalu. Tepat setelah santapan makan malam dihabiskan. Kafka sendiri memilih diam dulu, duduk di sebelah Semesta dan memperhatikan laki-laki itu.

Semesta lantas menggeleng. Bukan karena kehadiran teman-temannya yang membuat ia sedih. Justru kebalikannya, dengan adanya mereka, Semesta merasa lebih hidup. Sekian lama tidak berinteraksi dengan orang lain secara langsung membuat Semesta seolah kehilangan sisi sosialnya. Semesta lelah hanya dengan berada di kamar dan berhadapan dengan ponselnya.

"Gue senang, kok," balas Semesta. Ia mengulas senyum tipis. Dengan tangan yang berusaha untuk mengangkat tubuh sendiri, Semesta kemudian ikut membereskan piring yang tersisa. "Kalau nggak gitu, mungkin gue udah mati kesepian."

Kafka bergumam tidak jelas, menanggapi ucapan Semesta. Lagi-laki kesunyian mengambil alih. Suara piring yang beradu kemudian terdengar kembali. Kafka meneguk sisa sirupnya yang sudah tidak dingin dan terasa hambar, lalu meletakkannya di atas nampan.

"Oh, ya. Dinas lo hari ini gimana?" Semesta bertanya. "Lo keliatan aneh. Ada masalah apa hari ini?"

"Hah." Kafka berucap. Ia lalu duduk di atas tempat tidur dan membaringkan tubuh. "Nggak ada masalah apa-apa, sih, Kak. Gue lagi sedih doang."

"Kasus?"

Kafka mengangguk pelan. Ia mengambil guling dan memeluknya. "Gue nggak suka banget di IGD. Hari ini emang rame banget, kayak kata Echa tadi. Gue sampai nggak sempat duduk dan gue nggak sengaja nginjek sepatu sendiri dari tadi." Kafka terkekeh sendiri. "Gue dapat kasus nggak ngenakin. Posisi gue emang ada di zona merah juga."

"Tempat orang yang percobaan bunuh diri itu?" Semesta kembali bertanya. Ia menarik kursi meja belajar dan duduk di sana. Sebelum kakinya kembali melemah dan menjatuhkan piring, Semesta langsung melakukan tindakan preventif.

Kafka lagi-lagi mengangguk. "Tapi, gue ada di zona merah A, itu orang ada di zona merah B. Gue dapat kasus beda," lanjut Kafka. "Kasusnya korban tabrak lari, ayah sama anaknya. Anaknya usia empat tahun. Masih muda banget, ya?" Kafka mengulas senyum, melihat ke arah Semesta yang juga memperhatikannya.

"Tadi gue sempat lihat di kertas, katanya anaknya kelempar dari motor dan kehantam trotoar, akhirnya jadi CKB. Gue disuruh bersihin darah yang keluar dari telinganya." Kafka menarik napas panjang. Kedua manik hijaunya menatap langit-langit. Walau tidak tahu bagaimana ekspresi orang lain, tapi Kafka mampu merasakan atmosfer yang berbeda ketika berada di sana. Suara isakan seolah masih mengalun di telinga Kafka. Hingga kemudian membuatnya bergidik. "Luka luar emang nggak banyak—cuma luka gores di mukanya, tapi kalau lo periksa, krepitasinya banyak banget. Darah juga nggak berhenti keluar dari telinganya. Gue tadi sempat observasi pemasangan CVC. Tangan sama kakinya udah dingin banget."

KelabuDonde viven las historias. Descúbrelo ahora