Bagian 25

2.4K 329 25
                                    

Kalau boleh, rasanya Kafka tidak ingin pulang ke rumah

ओह! यह छवि हमारे सामग्री दिशानिर्देशों का पालन नहीं करती है। प्रकाशन जारी रखने के लिए, कृपया इसे हटा दें या कोई भिन्न छवि अपलोड करें।

Kalau boleh, rasanya Kafka tidak ingin pulang ke rumah. Ia hanya ingin duduk di ayunan, mendorong tubuhnya sendiri, hingga entah kapan. Walau sudah pukul sepuluh malam dan kondisi taman lumayan gelap, tapi Kafka tidak peduli. Ponsel yang sedari tadi mati juga dibiarkan begitu saja di dalam tasnya yang tergeletak di dalam mobil, tanpa menyadari kalau sang ayah sedari tadi terus mencoba menghubungi.

Dingin, tapi Kafka tetap tidak beranjak. Ia memilih untuk menggosok kedua tangannya, lalu meniup telapaknya dengan lembut. Walau pada akhirnya, dingin kembali membuat tangannya bergetar.

"Kafka, kenapa belum pulang?" Mendengar satu pertanyaan yang tiba-tiba terlontar, membuat Kafka menoleh ke sumbernya. Kedua kelopak matanya menyipit, untuk sejenak merasa deja vu, karena tadi ia juga mendapat pertanyaan yang sama.

"Siapa ...?" Kafka bergumam pelan.

"Semesta." Si pemilik suara berjalan mendekat sambil menyimpan kunci motornya ke dalam saku jaket. Ia kemudian duduk di ayunan tepat di sebelah Kafka.

"Oh." Kafka kembali menunduk. Menatap kedua kakinya yang diluruskan. Helaan napasnya terdengar begitu lirih, hingga membuat Semesta menyipitkan kedua matanya heran.

Semesta mengusapkan kedua telapak tangan, lalu menempelkannya pada pipinya yang terasa lebih dingin. Ia meringis, sebelum kembali berucap. "Dingin." Semesta meniupkan udara dari dalam paru-parunya. Ia menatap Kafka lekat-lekat. "You should go home, Kafka. Ayah lo khawatir."

"I don't want to," balas Kafka asal. "Lo ke sini karena disuruh ayah gue? Mending nggak usah, Kak. Nanti juga gue pulang."

"Kafka, lo cowok. Nggak pantes ngambek-ngambek gitu." Semesta meraih kedua rantai yang ada di sisi ayunan dan menggenggamnya erat. Dingin terasa di permukaan kulitnya. "Kalau ada masalah—"

"Bukannya gue ngambek, Kak." Kafka mengulum bibir. Ia berhenti menggerakkan ayunan dan memilih untuk menatap Semesta selama lima detik, sebelum akhirnya kembali membuang pandangan. "Gue cuma pengin sendiri. Gue mau mikir aja gitu. Gue nggak pengin pulang. Rasanya kalau pulang beban gue malah makin nambah."

"Lo nggak takut kesurupan di sini?" ceplos Semesta, namun hanya sesaat, ia kembali menutup mulutnya. "Maaf."

Kedua sudut bibir Kafka berkedut, memaksanya untuk menyunggingkan satu senyum tipis. Lalu, kepalanya menggeleng pelan. "Gue biasa ke sini sejak dulu. Sejak bunda gue meninggal ... gue nggak tahu lagi harus ke mana," ucap Kafka. "Gue tahu gue cowok, Kak. Tapi gue nggak bisa kayak stereotip orang-orang. Cowok harus kuat, nggak boleh lemah. Rasanya gue nggak kayak cowok, ya, Kak?"

Semesta tidak ingin menjawab sama sekali, jadi ia hanya memilih untuk diam. Sesekali, diliriknya Kafka yang memainkan ayunan yang dinaikinya. Laki-laki itu tampak seolah tanpa ekspresi, walau kedua sudut bibirnya tersungging.

"Maaf, ya, Kak. Lo jadi disuruh sama ayah gue ke sini. Benar kata lo, seharusnya gue pulang. Bukannya malah main ayunan di sini." Kafka bangkit dari ayunan yang didudukinya dan berdiri di hadapan Semesta. Ia mengulurkan tangannya. "Pulang, yuk. Udah malam banget."

Bukan meraih uluran tangan Kafka, Semesta malah menepisnya. Ia bangkit sendiri dan merenggangkan tubuh. "Lo mau gue antar?" tanya Semesta asal, hanya untuk basa-basi. "Gue bawa motor."

Kafka lantas tertawa singkat. "Dan gue bawa mobil," balasnya. "Rumah lo bukannya cukup jauh dari sini?"

"Santai aja. Gue biasa muterin kota jam segini," ujar Semesta. "Mungkin lo harus coba sekali-kali."

"Gue takut, gue malah iseng ngegas dan nabrakin diri ke pembatas jalan," cetus Kafka. Ia menarik napas panjang. "Mungkin kapan-kapan bisa gue coba."

"Ngegas dan nabrakin diri?" Semesta mengerjapkan kedua kelopak matanya cepat. "Ya, jangan lah!"

"Bukan itu!" Kafka berdecak pelan, kemudian tertawa. "Gue belum ada niatan buat bunuh diri pakai mobil, kok."

Semesta menyipitkan kedua kelopak matanya, menatap Kafka skeptis. "Belum."

"Iya, iya. Nggak ada, kok." Kafka berdeham pelan. kedua tangannya saling menggenggam di belakang punggungnya. "Kak, ingat nggak, sih, pas kita masih ikut EC?"

"Nggak. Ngapain gue ingat masa-masa satu UKM sama lo?" jawab Semesta. "Kalau latihan nggak pernah setim sama gue, tapi pas lomba selalu jadi first speaker dan setim sama gue. Lo hobi nyari masalah sama gue atau gimana?"

"Iya, emang hobi," aku Kafka. Ia menepuk pundak Semesta dua kali. "Tapi, nggak apa-apa, 'kan? Karena lo setim sama gue, kita jadi selalu menang."

Semesta tersenyum tipis. "Iya, yang penting menang," ucap Semesta final. "Sana, pulang. Ayah lo pasti khawatir. Lo besok juga dinas, 'kan?"

"Iya, besok gue jumping shift-nya." Kafka mendongakkan kepala dan menarik napas panjang. Senyum tidak juga luntur dari bibirnya. "Lo juga pulang, jangan keliling-keliling dulu."

"Iya."

"Jangan lupa istirahat. Lo besok dinas apa? Jangan lupa makan dulu sebelum berangkat. Jangan sampai sakit."

Semesta berdecak pelan. "Cerewet banget jadi anak," celetuk Semesta. "Gue pulang."

Kafka mengangguk pelan. "Hati-hati."

Sebelum Semesta melangkahkan kakinya, ia kembali menoleh. Tersenyum lebar ke arah Kafka, walau tahu bahwa laki-laki itu mungkin tidak menyadarinya. "Have a good night, Kaf."

"And you, too, Kak."

•••

Ketika Kafka membuka pintu utama rumah, satu hal yang langsung didapatinya adalah sang ayah yang tertidur di atas sofa. Menunggu kepulangannya, yang bahkan enggan untuk kembali. Ia menutup pintu perlahan, berusaha untuk tidak membangunkan Azri.

"Yah, aku pulang," gumamnya perlahan. Ia berdiri di samping sosok Azri yang masih terlelap. Tidak tega jika membiarkannya sampai pagi di ruang tamu, tapi juga tidak enak hati jika membangunkannya. "Maaf karena aku pulang kemalaman sampai Ayah ketiduran di sini. Aku janji besok nggak akan gitu lagi. Ayah nggak perlu khawatir lagi sampai ngehubungin teman-teman aku. Oke, Yah?"

Tidak ada balasan sama sekali dan Kafka tidak peduli. Kafka mundur selangkah. Perlahan hingga pada akhirnya ia sampai di depan tangga. Tanpa menimbulkan suara, Kafka melangkahkan kedua tungkainya. Tak perlu waktu lama untuk ia sampai di lantai dua, berhadapan pada pintu kamarnya yang masih tertutup rapat. Ingin rasanya berbalik untuk sekadar menyapa sang bunda, tapi tubuh Kafka terlalu letih.

Segera, Kafka membuka pintu kamar dan berderap ke dalam. Ia membaringkan tubuhnya di atas kasur yang terasa dingin. Tanpa peduli bahwa ia belum mengganti bajunya, Kafka meraih bantal. Dipeluknya dengan erat benda kesayangannya itu. Kedua matanya tampak teduh, menatap langit-langit dengan sayunya. Lalu, kedua kelopak mata yang mulai memberat itu perlahan menutup. Mengantar Kafka pada mimpi indahnya.

•To be continued•

A/n

Bentar, bentar. Kebayang gak sih kalau Semesta mati, Kafka bakal gimana?

:")

Kelabuजहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें