Bagian 31

2.1K 302 16
                                    

Semesta tidak mengerti dengan perasaannya

Oups ! Cette image n'est pas conforme à nos directives de contenu. Afin de continuer la publication, veuillez la retirer ou télécharger une autre image.

Semesta tidak mengerti dengan perasaannya. Mana ada rasa sedih masuk ke dalam dadanya. Malah, kesan tidak peduli yang muncul lebih besar.

Toh, pada akhirnya kalau memang penyakit itu merenggut nyawanya, Semesta juga tidak masalah.

Buru-buru Semesta meletakkan hasil pemeriksaannya ke atas meja ketika melihat Sasi bergerak. Seolah sadar dengan keberadaannya, tak lama ia membuka mata. Menatap sosok yang kini sedang tersenyum di hadapannya, membuatnya ikut menyunggingkan seulas senyum tipis.

"Bayinya Bunda udah pulang," gumam Sasi. Ia mendudukkan tubuhnya dan menjulurkan tangan, berusaha untuk mengusap pipi Semesta. Tapi, secepat kilat laki-laki bernetra legam itu menepisnya.

"Aku bukan bayi, Bunda."

Sasi terkekeh, ganti mengusap surai lembut laki-laki itu ketika berhasil meraihnya. "Kamu masih kecil, tahu," celetuk Sasi, menggoda Semesta. Sasi tidak bisa mungkir kalau ia masih menganggap Semesta sebagai seorang anak-anak. Seseorang yang patut ia jaga, bahkan walau sekarang tingginya sudah melewati dirinya.

"I'm nineteen!" balas Semesta. Wajahnya memerah, malu karena ucapan Sasi, dan malu karena dirinya berusaha untuk menyangkal ucapan bundanya—yang hobi menggoda—tersebut.

"Yes, nineteen months."

"Bunda!"

Sasi tertawa lepas. Wajahnya yang tampak lelah tersamarkan oleh lengkungan bulan sabit pada matanya yang menyipit. Semuanya tampak sama, kecuali pada kantung mata yang terlihat lebih jelas di bawah mata Sasi. Wanita itu seolah baru selesai menangis dan tertidur begitu saja.

"Kamu udah baca?" Sasi melirik hasil pemeriksaan yang ada di atas meja. Posisinya berubah dari terakhir yang Sasi ingat, dan ia yakin hal itu karena Semesta.

"Not yet." Semesta membalas asal. Ia bahkan tidak berani menatap Sasi. Wajahnya yang makin lama makin menua itu terlihat menyedihkan untuk ditatap.

Sasi menggigit bibir bawahnya sejenak. Gelagat Semesta terlalu jelas. "Kamu bohong."

"I'm not!" Semesta membalas keras. Kemudian, decakannya muncul, disusul oleh helaan napas. "Sorry."

"Kamu tahu kalau kamu nggak bisa bohong, apalagi sama Bunda." Sasi meraih kedua pundak Semesta, lalu memaksanya untuk duduk di sofa. Setelahnya, Sasi ikut duduk di sana. "Gimana makannya? Enak? Tadi beli apa?"

Sasi berusaha untuk mengalihkan pembicaraan, sampai-sampai pada akhirnya Semesta kembali mengarahkan pandangannya pada Sasi. Senyumnya terbit begitu tipis. Baik Sasi maupun Semesta, keduanya sama-sama tidak menyadari ulasan di bibirnya tersebut.

"Enak. Mungkin kapan-kapan aku bakal ajak Bunda ke sana buat ngerasain sendiri," jawab Semesta.

"Great. Bunda bakal tagih janji itu."

Semesta mengangguk, walau tidak terlalu yakin. Tapi, menganggap semuanya baik-baik saja rasanya sudah cukup.

Setidaknya ... saat ini.

•••

Semesta tidak menyangka kalau ia akan disambut oleh bed berisi mayat ketika baru sampai di ruangan. Kepalanya tertoleh, mengikuti pergerakan petugas yang akan membawa mayat tersebut ke ruang mayat. Keluarganya mengikuti dari belakang, beberapa tampak bersedih. Maklum, mereka baru saja kehilangan anggota keluarganya yang berharga.

"Kasihan," gumam Semesta. Ia menunduk sesaat, mendoakan siapapun orang itu. Lalu, dengan langkah ringan, Semesta berjalan menuju ruang ganti.

Suara orang mengobrol terdengar dari dalam sana, membuat Semesta mempercepat langkahnya. Walau masih pukul satu siang, nyatanya teman-teman sekelompoknya cukup rajin hingga datang satu jam sebelum waktu dinas dimulai.

"Semesta! Pas banget." Sinta yang pertama kali menyadari kedatangan Semesta langsung berteriak. Sampai-sampai ia berhenti meminum jusnya. Kedua kelopak matanya melebar. "Lo harus tahu."

Alis Semesta tertaut heran. Ia baru datang dan ia harus tahu sesuatu. "Ada apa ini?" Semesta balas bertanya.

"Pasien lo."

Kenapa perasaan Semesta mendadak tidak enak?

"Iya? Pasien gue kenapa?"

"Pasien lo barusan meninggal."

Rasanya Semesta seperti disambar petir.

"Ha? Serius?" Kedua kelopak mata Semesta mengerjap beberapa kali. "Padahal tinggal sehari lagi ...."

"Tinggal cari pasien baru yang penyakitnya sama."

Semesta mendengkus. Manusia yang satu ini santai banget bicaranya.

"Ada pasien epidural hematoma lagi nggak, sih?" Semesta bertanya. Sebuah pertanyaan retorik. Ia bahkan tahu jawabannya.

Pasien epidural hematoma hanya pasien kelolaannya yang baru saja meninggal.

"Ganti penyakit aja, Ta. Bilang ke CI kalau pasien lo baru aja meninggal."

Kepala Semesta terasa pening. Jika harus ganti penyakit, maka Semesta harus mengulang dari laporan pendahuluan. Sebenarnya bisa saja, tapi rasanya Semesta begitu malas. Apalagi jika harus mengerjakan ulang bagian patofisiologi yang dibuat dengan bagan. Kepala Semesta rasanya seperti mengepulkan asap.

"Iya, iya. Makasih sarannya." Semesta berucap pelan. Ia mendudukkan tubuhnya di sofa. Tangannya mengusap dadanya perlahan.

Kenapa rasanya sesak sekali?

[To be continued]

A/n

Jujur aku ngetik ini di NICU :")

KelabuOù les histoires vivent. Découvrez maintenant