Bagian 8

3.3K 435 8
                                    

Semesta membaringkan kepalanya di atas meja, masih sambil memperhatikan Kafka yang dengan tenang duduk di hadapannya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Semesta membaringkan kepalanya di atas meja, masih sambil memperhatikan Kafka yang dengan tenang duduk di hadapannya. Jarang-jarang Semesta melihat laki-laki itu tampak tanpa lengkungan di bibirnya. Walau masih dengan teh yang di-blend dengan susu vanila, permintaannya sebelum Semesta menyeretnya ke meja diskusi di depan lift.

"Mau cokelat."

Semesta mendengkus dan menegakkan tubuhnya. "Gue cuma disuruh buat ngecek keadaan lo gimana, tapi lo malah minta yang enggak-enggak," sungut Semesta. "Ayah lo kenapa, deh? Padahal di sini lo nggak kenapa-napa, malah gue yang disuruh samperin."

Kafka tertawa. Ia menarik sedotan dari gelas tehnya, lalu digigitnya perlahan. "Ayah gue kadang suka nggak tahu batasan," jelasnya, menyesal karena sejak awal dihubungi tidak mau menjawab sama sekali.

"Takut lo diculik?" Semesta menebak. "Apa itu gara-gara prosopagnosia lo?"

"Hm." Kafka bergumam pelan. Senyumnya sendu, dan malah membuat Semesta curiga. Mungkin, jika hanya sekadar itu, ayahnya tidak akan sepanik tadi. "Mungkin, Kak. Semenjak Bunda nggak ada, Ayah jadi protektif ke gue. Over malah."

"Eh? Sejak kapan?" Semesta mengerjap. Setelah berkali-kali menjadi teman sekelasnya dan sempat menjadi ketua di UKM yang sama, ternyata masih ada banyak hal yang tidak ia ketahui.

Kafka lagi-lagi tertawa. Diaduknya buih teh yang ada di dalam gelas dengan sedotan. Ia tidak juga menjawab, tapi malah meneguk teh dari gelasnya. Seolah, Kafka sedang menghindar.

"Menurut lo, kenapa ayah gue sama bunda lo bisa menikah?" Kafka menunjuk Semesta dengan sedotannya. "Karena udah nggak punya pasangan, 'kan? Ya, karena itu. Cuma ... karena itu."

Kening Semesta berkerut, sementara kedua kelopak matanya menyipit. Apa yang diucapkan oleh Kafka bukanlah jawaban yang diinginkannya. Namun, pada akhirnya Semesta hanya bisa menerima.

"Oh, iya. Tadi, lo mau nanya apa?"

"Gue mau nanya, ya?" Kafka balik bertanya. "Lupain aja. Nggak penting, kok."

"Lo aneh."

"Iya, makasih."

"Hih." Semesta bangkit dari bangkunya. "Udah lewat jam dua, gue mau balik."

"Iya."

Semesta membalik tubuhnya. Berjalan menjauh dengan kedua tangan yang dimasukkan ke dalam saku celana. Walau Kafka masih tampak tidak seperti biasanya, tapi Semesta juga tidak bisa berdiam diri di sini.

"Oh, iya. Siapa tahu lo ada masalah—" Semesta melirik ke arah pintu lift, di mana ia bisa melihat pantulan Kafka. Laki-laki itu sedang menatap ke arahnya, rautnya penasaran. "Lo bisa ngomong ke gue. Oke?"

Kafka mengulum bibir, lalu mengangkat kedua sudut bibirnya. Kali ini lebih tulus dari sebelumnya. Kepalanya mengangguk perlahan.

"Iya, Kak. Makasih, ya!"

KelabuWhere stories live. Discover now