dari sudut pandang kafka atharya di hari itu

1.4K 149 26
                                    

Kalau ditanya bagaimana penglihatan Kafka selama ini, ia sendiri bahkan tidak pernah bisa menjelaskan

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Kalau ditanya bagaimana penglihatan Kafka selama ini, ia sendiri bahkan tidak pernah bisa menjelaskan. Bagaimana rasanya berpapasan dengan orang lain di jalan? Beberapa detik kemudian, kamu mungkin akan melupakan bagaimana wajahnya.

Mungkin ... begitu.

Apa yang Kafka lihat mungkin bisa dibilang tidak normal, tapi menurutnya normal-normal saja. Hal ini yang selalu dilihatnya sejak pertama kali bisa melihat. Tidak pernah sekalipun ia tahu apa yang dilihat oleh orang lain. Kafka tidak pernah tahu bagaimana wajah bunda, ayah, teman-temannya, bahkan wajahnya sendiri.

Keuntungannya, Kafka tidak bisa melihat wajah kesakitan orang lain. Sebagai tenaga kesehatan, seharusnya penting baginya untuk melihat ekspresi orang. Tetapi, Kafka merasa ia tidak akan sanggup dengan semua itu. Lama-lama mungkin terbiasa, tapi bagaimana jika kamu harus melihat orang yang kamu kenali berada dalam kondisi sekarat?

Kafka beruntung? Mungkin saja.

Selepas terakhir kali bermonolog di hadapan Semesta, Kafka tidak pernah lagi melihat laki-laki itu. Semesta dipindahkan ke ICU dan hanya Sasi serta Azri yang bisa masuk ke sana. Kafka hanya duduk di kursi tunggu bersama dengan keluarga pasien lain, sesekali ikut makan—yang saking baiknya, Kafka dapat oleh-oleh dari mereka.

Lalu, di pukul tujuh pagi.

Hari pertama di semester tujuh perkuliahan.

Sejak tadi malam, perasaan tidak enak Kafka rasakan. Ia ingin tidur, namun hingga pukul dua pagi tetap terjaga. Di pagi harinya, Kafka ingin membelokkan setir mobilnya ke rumah sakit dan berniat absen.

"Aku mau nggak kuliah, boleh?" Begitu pertanyaannya ketika sarapan.

"Hari ini hari pertama, loh," balas Sasi. Ia bahkan sampai berhenti memakan roti bakar kejunya, heran sendiri dengan Kafka. "Ada apa?"

"Aku mau ke rumah sakit. Udah lama nggak ke sana," jawab Kafka. Kemudian, ia menarik napas panjang. "Iya, iya. Aku tahu, pulangnya aja 'kan? Lagian juga, aku nggak bakal dibolehin masuk."

Kafka meraih cangkir teh dan meneguknya hingga tandas. "Udah berminggu-minggu dan aku nggak boleh masuk ke dalam. Ya, iya sih, aku tahu aku juga nggak bisa ngenalin mukanya. Tapi, sekali aja. Boleh, ya?"

"Kamu tahu Ayah sama Bunda juga nggak boleh masuk kecuali ada yang penting." Azri berujar. Sedikit paham pada Kafka yang sudah lama tidak bertemu dengan saudara tirinya itu. "Nanti, ya. Kalau Semesta bisa pindah ke ruang rawat biasa, kamu juga bisa ketemu dia lagi."

Selalu seperti itu.

Kafka pada akhirnya diam. Ia mengambil tasnya dan bangkit dari kursi makan. "Ya udah, aku berangkat dulu."

•••

"Masih pagi, tapi lo udah minum es di sini." Kafka kenal suara itu. Orang ketiga di kelasnya yang berjenis kelamin laki-laki. Oh, sekarang hanya bersisa dua orang.

KelabuWhere stories live. Discover now