Bagian 63

1.3K 145 25
                                    

Kafka tidak akan pernah menyangka akan menjumpai Semesta di instalasi gawat darurat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kafka tidak akan pernah menyangka akan menjumpai Semesta di instalasi gawat darurat. Tepat setelah tadi malam ia mendapat pesan dari Sasi. Kafka kira, ia hanya bermimpi dan ketika ia sampai di rumah sakit, dirinya tidak akan pernah menjumpai Semesta dalam keadaan yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya.

Sedikit curi-curi lihat, Kafka membaca kertas yang terletak di atas meja. Tertuliskan pasien yang masuk tadi malam beserta alasannya. Tepat di nomor kelima, nama Kerlap Semesta tertera. Alasan masuk karena sesak napas yang kemudian memburuk.

Hingga berakhir dengan henti napas.

Kafka tercekat, hingga kertas yang ada di genggamannya gampir terjatuh begitu saja. Manik hijaunya melirik sembarangan ke segala arah. Kedua tangannya bergetar, hingga kemudian ia terduduk di kursi kosong. Rasa takut menghantam dadanya dengan kuat, hingga rasanya untuk bernapas saja begitu sulit. Kafka diam, berusaha menyadarkan dirinya agar tidak terlalu larut pada ketakutan yang menghantui.

"Kafka? Kamu nggak apa-apa?" Suara Sasi terdengar, beserta dengan tepukan di pundaknya. Kafka menoleh, menatap wajah yang bahkan tidak akan pernah dikenalinya itu. "Tangan kamu dingin. Kamu lagi sakit?"

"Tante ... kenapa bisa?" Kafka bertanya lirih. Ia berusaha kembali berdiri. Tangan Sasi yang awalnya memegang pundak laki-laki itu langsung disingkirkannya dengan lembut. "Kemarin Kak Semesta masih baik-baik aja. Tapi ... nggak lama ...."

Sasi terlalu lelah hari ini. Bahkan, ia tidak bisa lagi menangis. Namun, ketika melihat wajah Kafka yang tampak sangat mengkhawatirkan sang putra ... rasanya emosi Sasi lansung membuncah. Membuatnya merasa sesak hingga kedua matanya yang memerah kembali tergenangi cairan.

Tangan Sasi membekap mulutnya sendiri, berusaha untuk menahan isakan yang memaksa untuk keluar. Sasi kira ia akan kehilangan putranya dalam waktu sekejap, padahal baru saja ia mengucapkan selamat malam. Baru saja Sasi merapikan selimutnya, mengajaknya pergi keluar esok hari.

Sasi sudah berkata bahwa jika Semesta mengalami keluhan, maka ia harus segera memberitahunya. Sasi bukan seorang tenaga kesehatan yang mampu untuk mengatasi hal semacam itu. Apalagi, yang mengalami adalah putranya sendiri.

Panik Sasi rasakan ketika ia menelepon ambulans. Suaranya terdengar bergetar ketika ia harus menjelaskan apa yang terjadi. Pun kedua tangannya yang menggenggam tangan dingin Semesta. Lalu, semua yang ada di pandangan Sasi seolah bergerak lebih cepat. Pikirannya terlalu kalut hingga tenang pun tidak bisa Sasi rasakan.

Bukan jawaban yang Kafka dengarkan. Lagipula, ia juga tidak membutuhkan jawaban sama sekali. Semua kalimat tidak menyenangkan mengenai Semesta ... Kafka tidak ingin mendengarnya.

"Semuanya bakal baik-baik aja, Tan," bisik Kafka. Ia meraih kedua tangan Sasi dan menggenggamnya erat. "Kak Semesta ... kakak aku bakal baik-baik aja 'kan?"

Kafka ingin berharap lebih, tapi ia tidak bisa. Menggantungkan harapan begitu saja hanya akan membuatnya terus merasa sakit. Semesta mungkin juga berpikir begitu, hingga ia berkata bahwa dirinya tidak ingin melanjutkan perawatan lagi.

KelabuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang