Bagian 67

1.4K 171 51
                                    

Angin yang berembus lembut secara semena-mena menerbangkan surai Kafka

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Angin yang berembus lembut secara semena-mena menerbangkan surai Kafka. Kedua kakinya melangkah, menapaki tanah merah yang kering. Agak berharap sepatunya tidak terlalu kotor, karena minggu ini ia sedang malas mencuci.

Di tangan Kafka, sebuket bunga matahari terlihat. Baru dibelinya tadi, di perjalanan. Untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, Kafka berani menjejaki tempat ini kembali.

Kedua matanya memincing, menutupi sinar mentari yang menusuk mata, lalu pandangan Kafka berhenti tepat di depan, jarak lima meter dari tempat ia berdiri.

"Selamat sore, Bunda." Kafka menyapa. Kedua manik cerahnya membaca nama yang tertulis di nisan. Ia sudah lama tidak berkunjung, terakhir kali mungkin ketika bundanya dimakamkan. Namun, Kafka masih ingat jelas bagaimana kondisi hari itu. "Maaf karena aku baru bisa datang hari ini. Aku baru punya keberanian buat ketemu sama bunda lagi."

Ketika kedua kelopak mata Kafka terpejam, ia menarik napas panjang. Aroma kamboja yang tertiup angin mulai ia rasakan di indra penciumannya. Meski banyak orang yang menganggap pemakaman adalah tempat yang menyeramkan, tetapi tidak untuk Kafka.

Pada akhirnya, Kafka berlutut tepat di sebelah nisan. Ia mengusapnya perlahan, sebelum meletakkan bunga yang ia bawa ke sana. Manik indahnya tampak tergenangi cairan, sebelum setetes mengalir dari sudutnya.

Kafka masih ingat dengan apa yang dilihatnya di hari kepergian sang bunda. Walau kini menjadi kenangan samar, tetap saja hal itu menjadi mimpi buruk yang terkadang membuat Kafka terjaga.

"Aku sekarang lagi libur sebentar. Makanya aku bisa ngunjungin Bunda." Kafka mencabut rumput kering, lalu memainkannya. Kafka pada akhirnya duduk bersila. Bertahun-tahun tidak bertemu bundanya, ada banyak hal yang ingin Kafka ceritakan. "Maaf, ya. Aku datang sendirian. Ayah lagi sibuk banget. Soalnya ... Ayah mau ngejemput kebahagiaannya juga."

Kafka mengulum bibir sejenak. Ia menyingkap rambut yang menutupi mata kirinya. "Bun, sebenarnya aku ngerasa berat banget buat ngambil keputusan ini. Tapi, akhirnya aku pertimbangin banyak hal. Lagian juga, nggak ada salahnya aku coba kehidupan yang baru. Kehidupan yang mungkin aja bisa bikin aku lebih baik dari sebelumnya. Iya 'kan?"

"Dan emang benar, Bun. Aku ngerasa lebih baik dari sebelumnya. Awalnya cuma buat nepatin janji aku sama Kak Semesta, tapi lama-lama ... aku mikir kalau aku juga harus bisa sembuh." Kafka melanjutkan. Ia tertawa pelan di sela ucapannya. Pandangannya yang hangat menatap nisan, seolah sedang menatap bunda. "Aku nggak sesering itu ketemu dokter Zara sekarang. Dosis obatku juga nggak setinggi dulu. Apa ... setelah ini aku bisa lepas, ya, Bun?"

Tidak ada jawaban dan memang seharusnya begitu. Kafka tidak lagi mendengar suara bundanya. Tidak lagi mencoba untuk menyusulnya. Karena saat ini, ada keluarga yang juga sedang menunggu.

"Kalau bisa, aku mungkin bakal jadi manusia paling beruntung di dunia ini. Aku bisa lewatin semuanya. Semua yang pernah Bunda rasain juga." Kafka bangkit dan membersihkan celananya. "Nanti, kalau aku udah dinyatakan sembuh, aku bakal balik ke sini lagi. Aku bakal ngasih laporan ke Bunda. Jadi, tunggu, ya, Bun."

KelabuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang