Bagian 62

1.2K 148 17
                                    

Setelah ketukan kedua, Kafka langsung membuka pintu kamar

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Setelah ketukan kedua, Kafka langsung membuka pintu kamar. Ia menyembulkan kepala di sela-sela pintu, sebelum membukanya lebih lebar lagi. Sosok Azri terlihat di dalam sana, sedang berniat untuk tidur. Namun, kehadiran Kafka membuat ia mengurungkan niatnya.

Kafka mungkin tidak bisa bersikap seperti sebelumnya, tetapi pada akhirnya ia tetap melangkah masuk. Jemarinya saling tertaut. Secara paksa, Kafka melukiskan senyum tipis.

"Oh, kamu baru pulang?" Azri bertanya. Ia menurunkan selimut dan kembali mendudukkan tubuhnya. Dibalasnya senyum Kafka secara spontan. Tangannya menepuk sisi tempat tidur yang kosong, mempersilakan Kafka untuk duduk di sana. "Tadi kamu dari rumah Semesta, ya?"

Pertanyaan retorik. Sebelumnya, Kafka sudah memberitahu Azri. Meski tidak bilang pun, rasanya ayahnya itu tahu ke mana Kafka akan pergi.

"Iya." Kafka tetap menjawabnya. Ia berdiri di hadapan Azri. Tidak juga duduk. Sudah cukup lama semenjak ia terakhir kali benar-benar bertatap muka dengan Azri. Selain ia yang menghindar, tapi juga kesibukan Azri yang menyita waktu. "Ayah ... apa kabar?"

Azri terhenyak. Tidak menyangka bahwa kalimat yang pertama kali ia dengar adalah tentang Kafka yang menanyakan kabar. Namun, keterkejutannya segera ia tutupi dengan sunggingan senyum yang lebih tulus dari sebelumnya.

"Baik," jawab Azri singkat. Ia tidak lagi memaksa Kafka untuk duduk di sebelahnya. Namun, sebisa mungkin Azri menatap kedua manik Kafka yang sejak tadi menghindari. "Kamu sendiri? Apa ada masalah?"

Kafka menggeleng perlahan. "Aku baik, kok." Kafka berdeham. Ia pada akhirnya duduk, untuk sekadar mengambil guling dan memeluknya. "Aku tadi ngobrol sama Tante Sasi. Katanya, Kak Semesta nggak akan bisa sembuh. Itu ... benar, Yah? Emangnya separah itu?"

Bukannya menjawab, Azri malah menghela napas panjang. Ini bukan topik yang suka untuk ia bicarakan. Sering kali mengobrol dengan Sasi mengenai bagaimana Semesta ke depannya, dan tidak ada akhir yang baik untuk laki-laki tersebut.

"Nggak bisa dibilang begitu juga, Kafka," jawab Azri pada akhirnya. "Sampai saat ini, penyakit Semesta emang belum bisa disembuhkan. Tapi, kita nggak tahu ke depannya gimana. Makanya itu, diusahakan buat kualitas hidupnya tetap baik. Seenggaknya, sampai nanti ada obatnya."

Kafka tidak mendapatkan jawaban yang ia mau. Decakannya terdengar. "Tahu nggak, Kak Semesta ngomong apa sebelum aku pulang?" Kafka berujar lirih. Ia menunduk, mengangkat kepala, dan lagi-lagi menarik napas panjang. Entah sudah berapa kali ia menghela napas hari ini. Rasanya, Kafka benar-benar sudah membuang kebahagiaannya.

"Kak Semesta udah nggak peduli lagi. Bahkan, katanya, kalau bisa dia pengin hentiin aja semua perawatannya." Kafka tertawa pelan. Ia sudah lama mengenal Semesta, sering kali sekelas dan sering pula berselisih. Kafka tidak pernah menganggapnya sebagai seorang kakak, kecuali beberapa bulan ke belakang. Kafka seolah menemukan keluarga baru, yang membuatnya merasa nyaman dan menjadi alasannya untuk tetap bertahan hidup.

Hanya beberapa bulan.

Apa Kafka hanya boleh merasa bahagia dalam waktu yang singkat?

"Yah, aku egois, ya?" Kafka kembali bertanya. "Apa ini karma buat aku? Aku nggak ngebolehin Ayah buat nikah sama Tante Sasi, dan aku juga nggak dibolehin bahagia dengan seorang kakak."

"Bukan begitu, Kafka." Azri mengusap lengan Kafka perlahan, kemudian merapikan rambut yang sedikit menutupi kedua manik hijaunya. Manik itu mirip dengan milik sang bunda, hingga membuat Azri merasa bersalah tiap kali menatapnya.

"Maaf, ya, Yah." Kafka meraih tangan Azri, lalu menggenggamnya dengan erat. Senyumnya terbit. Hanya sedetik, Kafka kembali melanjutkan. "Aku nggak akan tahan Ayah lagi. Semuanya ... sekarang ada di tangan Ayah sendiri."

Maksudnya itu ... begini 'kan, Kak?

"Maksud kamu?" Kedua alis Azri tertaut. Namun, bukan jawaban yang ia dapatkan, melainkan senyum Kafka yang penuh arti.

Laki-laki yang sebentar lagi akan berusia sembilan belas tahun itu bangkit dari tempat tidur. Ia membalik tubuh dan tanpa suara sama sekali, berjalan ke luar kamar. Meninggalkan Azri dengan banyak pertanyaan di kepalanya.

•••

Malam ini terasa sangat dingin, dan Kafka menyukainya. Ia meluruskan kedua kaki, menatap langit yang tampak cerah malam ini. Suasana teras belakang rumahnya cukup hening. Rasanya sangat menenangkan, hingga Kafka bisa tertidur setelahnya.

Ucapan Kafka pada Azri memang dirasa cukup ambigu. Kafka belum bisa berterus terang untuk mengizinkan Azri kembali menikah. Ia juga belum bisa sepenuhnya menerima. Makanya, Kafka berharap Azri bisa mengerti. Setelahnya, Kafka mungkin tidak akan ikut campur lagi dan ia hanya akan memenuhi janjinya kepada Semesta.

Semesta juga seharusnya memenuhi janji sendiri.

Kafka selalu yakin, lama-kelamaan ia dapat menerima semuanya. Sama seperti kematian bundanya dahulu. Kehidupannya akan terus berlanjut, meski untuk sesaat ia merasa dunia berhenti berotasi. Setelahnya, semua akan kembali normal, berjalan seperti kondisi yang Kafka ketahui. Lagipula, untuk terus menolak juga sulit. Bundanya tidak akan kembali hidup.

"Bunda, apa Bunda bahagia di sana?" Kafka berbisik. Satu bintang di langit yang gelap menarik perhatian Kafka. Senyumnya terbit, seiring dengan helaan napasnya yang terasa begitu menenangkan.

"Setelah ini, aku bakal punya kehidupan baru, Bun. Sama kayak Bunda," ucap Kafka. "Aku udah dewasa, loh, sekarang. Bunda mungkin nggak di sini, tapi aku tahu Bunda bakal terus ada buat aku."

Kafka bangkit dari kursi dan merenggangkan tubuhnya. Ia hendak membalik tubuh, tetapi sebelumnya, tangannya yang dingin meraih ponsel yang berada di atas meja. Benda itu sejak tadi tidak Kafka nyalakan. Oleh karena itu, dengan cepat, Kafka menekan tombol power. Dan tanpa menunggu waktu lama, layar kembali menyala. Notifikasi mulai memasuki ponselnya secara serempak, membuat Kafka sedikit menyesal telah mematikannya dalam waktu yang lama.

Namun, ada satu notifikasi yang menarik perhatian Kafka. Membuat kedua kelopak matanya melebar. Lidahnya kelu dan tangannya terasa kaku. Kedua kaki Kafka seolah melemah, hingga ia memutuskan untuk kembali duduk di kursi, tanpa mengalihkan pandangan dari layar ponselnya.

Isinya singkat, namun cukup membuat Kafka tidak bisa bergerak. Karena notifikasi itu berasal dari Sasi.

•to be continued•

A/n

Dah ah capek

KelabuWhere stories live. Discover now