Bagian 40

1.9K 256 13
                                    

"—yang dapat mengalami pengapuran itu bukan cuma tulang, tapi juga jantung

¡Ay! Esta imagen no sigue nuestras pautas de contenido. Para continuar la publicación, intente quitarla o subir otra.

"—yang dapat mengalami pengapuran itu bukan cuma tulang, tapi juga jantung. Makanya di sini ada namanya penyakit jantung rematik. Bisa dilihat di bagian katupnya, dari yang normalnya terbuka selebar dua koma lima centimeter, jadi cuma nol koma lima. Namanya mitral stenosis. Kelihatan 'kan?"

Kafka tidak mengangguk, tidak juga menggeleng. Kedua netranya memang terfokus pada layar yang menampilkan hasil ekokardiografi di hadapannya, tapi pikirannya melayang.

Nanti siang makan apa, ya?

"Di bagian perikardial emang ada cairan, tapi kalau cairannya berlebih kayak di sini, disebutkan efusi perikardial. Bisa dilihat juga kalau kondisi jantungnya tinggal enam belas persen, dari yang seharusnya tujuh puluh persen. Makanya itu, bisa diambil kesimpulan kalau bapaknya udah ada masalah jantung sejak lama." Tepat di kata terakhirnya, dokter Safir menoleh ke arah Kafka. "Paham?"

Mau tidak mau, Kafka mengangguk. "Paham, dok," balasnya singkat, walau ada nada keraguan di suaranya. Maklum, sejak tadi suara dokter Safir hanya masuk ke telinganya dan langsung keluar, tanpa menetap di otak. Rasanya, mengganti jam dinas justru membuat Kafka semakin malas. Sialnya, masih ada beberapa hari lagi yang harus dilewatinya.

"Coba lihat di sini aliran darahnya." Dengan jemarinya yang lentik, dokter Safir menunjuk layar. Kafka maju selangkah, walau kemudian menabrak kaki kursi milik pasien sebelah. "Darah yang seharusnya mengalir dari atrium kiri ke ventrikel kiri jadi tercampur-"

Kafka melirik ke arah lain, lalu menunduk, menatap ponsel yang terlihat sedikit menyembul dari kantong seragamnya. Ia memasukkan tangan kanannya ke dalam sana, lalu mengetuk layar dua kali. Helaan napasnya terdengar ketika dokter Safir meletakkan doppler ke tempatnya.

"Kita ke pasien selanjutnya. Ada berapa pasien lagi?"

"Lima pasien lagi, dok."

"Kamu ikut lagi, ya." Kedua manik legam dokter Safir menatap Kafka, mau tidak mau membuat laki-laki itu mengangguk, walau tanpa semangat.

Ngomong-ngomong ... kenapa Semesta tidak menghubunginya lagi?

•••

"Lihat, Bunda buat puding cokelat kesukaan kamu!" Sasi masuk ke kamar Semesta dengan semangat, sementara yang sejak tadi berbaring di atas tempat tidur malah tidak bereaksi. Meski kedua matanya mengikuti setiap pergerakan Sasi. "Karena kamu belum makan, Bunda buatin apa yang kamu suka. Kamu mau apa lagi?"

"Makasih, Bun. Tapi, nggak usah," jawab Semesta. "Aku masih kenyang, Bun. Jangan paksa aku makan terus, dong!"

Kekehan Sasi terdengar. Dikiranya, Semesta tidak akan protes. "Makan itu bisa bikin hati bahagia, loh," ujar Sasi asal.

"Iya, buat Bunda," balas Semesta. "Malahan, Bunda yang sekarang makan terus. Kenapa? Lagi nggak bahagia?"

"Sejak kapan Bunda nggak bahagia?"

KelabuDonde viven las historias. Descúbrelo ahora