Bagian 44

1.5K 209 4
                                    

Kafka menguap untuk ketiga kalinya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Kafka menguap untuk ketiga kalinya. Walau sudah merasa yakin kalau ia tidur cukup tadi malam, tapi tetap saja kedua kelopak mata Kafka memberat. Perlahan menutup jika Azri tidak mencolek punggung tangannya yang berada di atas meja. Merasa kaget sendiri walau sebenarnya hal tersebut berlebihan, kedua mata Kafka kembali membuka. Tampak memerah dan sayu.

"Semalam tidur jam berapa, sih?" tanya Azri di sela makannya. Kedua manik matanya tampak khawatir. Takut-takut putranya itu akan salah ketika menyuntik orang dan menyebabkan kekacauan nantinya.

"Cukup, kok." Kafka menjawab, agak tidak nyambung. Ia berdeham, berusaha untuk menyadarkan dirinya sendiri dengan segelas susu dingin di genggamannya, yang justru membuatnya makin mengantuk. Kafka kembali menguap sebelum menjawab, "Jam dua belas."

Cukup, katanya.

"Kebiasaan." Azri berdecak pelan. Kepalanya menggeleng, tidak habis pikir dengan kebiasaan Kafka. Putranya itu kadang suka membalik jam tidurnya sendiri. Banyak tidur ketika siang dan malah jadi Pterocarpus edulis. "Tahu kalau hari ini dinas pagi, kenapa malah begadang?"

"Hm, iya, maaf." Kafka bergumam pelan. Walau masih mengantuk, tapi sebisa mungkin ia berusaha untuk tetap sadar. "Aku nggak bisa janji kalau aku nggak bakal begadang lagi, soalnya tugas seabrek-abrek."

Azri bisa mengerti satu hal itu.

"Jangan keseringan." Azri menyeruput sisa tehnya sebelum mengambil ponsel yang tergeletak di atas meja dan memasukkannya ke dalam kantung celana. "Hari ini bakal pulang jam berapa?"

Kafka mengangkat kepala, menyimpan sendoknya di atas piring dalam posisi terbalik. Ia mengambil tas yang tergeletak di sebelah kakinya sebelum akhirnya bangkit dari kursi makan. Meski masih mengantuk dan membayangkan kasur yang empuk dan nyaman bak di surga, tapi mau tidak mau Kafka harus beranjak.

"Jam dua. Kayaknya," balas Kafka. "Aku berangkat duluan, ya. Takut telat."

"Kamu yakin mau berangkat sendiri?"

Tidak begitu yakin, tapi Kafka tetap mengangguk. Mau bagaimanapun juga, ia tidak ingin menyusahkan Azri dengan mengantar ke rumah sakit yang berlawanan arah dengan tempat kerjanya. Setelah ini, mungkin ia akan mencuci muka terlebih dahulu agar tidak begitu mengantuk di jalan.

"Iya, tenang aja." Kafka tersenyum tipis, agak sedikit dipaksakan. "Kalau Ayah pulang malam, jangan lupa tinggalin uang, ya. Uang aku mulai menipis."

Azri menghela napas perlahan. "Iya. Nanti kamu ambil di tempat biasa."

"Kalau mau kencan—"

"Katanya takut telat, tapi nggak berangkat juga."

Kafka nyengir, melambaikan kedua tangannya dengan bahagia. Ia mengenakan tasnya dan berjalan mundur, sebelum akhirnya memutar tubuhnya. Tangan Kafka yang bebas mengambil kunci mobil yang ada di atas meja kecil.

Agak malas, sih, tapi Kafka siap untuk hari ini.

•••

Semesta mungkin senang karena dirinya bisa tidur lagi setelah salat subuh. Tetapi, perasaan aneh tiba-tiba merasuki dadanya ketika ia membuka jendela. Udara dingin yang mulai memasuki kamar membuatnya menggigil, namun hanya sesaat karena selimut tebal kembali melindungi tubuhnya.

Rasanya berat ketika ponselnya beberapa kali bergetar. Salahnya yang memutuskan untuk tetap menjadi anggota di grup kelasnya. Perasaannya mendadak buruk ketika membaca pesan yang masuk.

Semesta juga ingin seperti mereka.

"Good luck for today, Guys." Semesta bergumam pelan, mengetikkan pesan singkat tersebut sebelum kembali menghapusnya. Daripada merasa makin sedih, Semesta memutuskan untuk menutup ruang obrolannya. Ia mengunci layar dan meletakkan ponselnya di atas nakas.

"Seenggaknya mereka nggak ngerasain hidup tenang tanpa tugas kayak gue." Semesta berusaha tersenyum. Ia mengangkat selimut hingga menutupi kepalanya. Gelap dan sunyinya ruangan menjadi pengisi. Nyatanya, Semesta tidak bisa kembali tertidur.

Masih ada dua hari sebelum ia kembali ke rumah sakit. Setelahnya, Semesta tidak yakin hidupnya akan berjalan dengan tenang. Selama masih ada waktu, Semesta ingin menikmatinya.

Tenang.

Semesta perlahan berusaha kembali menutup matanya. Ia ingin tidur. Mimpinya terasa indah dibanding kenyataan. Selama masih bisa, ia ingin menghabiskan waktunya di sana.

Tidak ia sadari kalau Sasi masuk ke dalam kamar, menatapnya dengan penuh kasih sayang. Laki-laki itu tampak begitu nyenyak. Beban yang harus dipikulnya seolah tersembunyikan dengan sempurna.

Sasi sontak tersenyum tipis. Tangannya perlahan mengusap kepala Semesta yang tertutupi selimut. "I'm sorry," bisiknya lembut. "Have a good sleep."

•••

Jangan tanya bagaimana canggungnya Kafka berada di ruang rawat kebidanan. Menjadi satu-satunya yang bergenotip XY mungkin sudah biasa, berhubung ia berkuliah di jurusan yang mayoritas penghuninya adalah perempuan. Tapi, jika sudah di ruangan ini, rasanya menjadi berbeda.

"Dinas pagi dari jam setengah delapan sampai jam dua. Dinas siang dari jam satu sampai jam delapan malam. Dinas malam dari jam delapan sampai jam delapan pagi."

Kafka menulis di bukunya. Sesekali, ia mengangkat kepala, memperhatikan Bu Ita, pembimbing klinik yang akan membimbingnya di lahan selama dua minggu. Wanita yang hampir berusia lima puluh tahun dan sudah berkecimpung di dunia kebidanan itu masih menjelaskan mengenai tugas yang harus dijalaninya selama berada di lapangan. Walau kebanyakan hanya bisa dilakukan oleh perempuan, tapi Kafka tetap menyimak.

"Agak jarang ada laki-laki di sini dan kebanyakan pasien malu kalau ada laki-laki." Bu Ita tertawa singkat.

Kafka paham itu. Seingatnya, saat dians yang lalu Semesta pernah diusir dari ruangan karena pasiennya tidak ingin ada laki-laki di sana. Bukan ia yang mengalami, sih, tapi lucu juga kalau diingat.

"Iya, Bu. Saya paham, kok," balas Kafka. Senyumnya mau tidak mau mengembang. Hal seperti itu memang sudah ia antisipasi sejak lama.

Oh, ngomong-ngomong ... Semesta bagaimana, ya, kabarnya?

Kafka memang sedikit menyesali keputusannya untuk beristirahat sejenak. Tapi, ia juga tidak bisa memaksakan kehendak calon kakaknya itu. Ada banyak pertimbangan mendasar yang memperkuat alasan kenapa Semesta memilih untuk rehat.

"Jadi, selama di ruangan, ambil ilmu yang banyak dari kakaknya. Jangan malu buat nanya. Kalau nggak bisa, bialng. Minta dibimbing. Jangan sampai dua minggu waktu kamu di sini jadi sia-sia karena nggak ada yang bisa kamu peroleh."

Kafka mengerjap dua kali. Mengikuti teman-temannya yang seluruhnya berdiri. Mengucapkan terima kasih atas preconference yang barusan telah dilaksanakan. Lalu, satu persatu keluar ruangan, menjelajahi setiap sudut ruang rawat sebelum ada satu teriakan.

"Dek, ada yang mau partus di VK."

•to be continued•

A/n

Ehehehehehehehe

KelabuWhere stories live. Discover now