Bagian 37

2K 295 21
                                    

"Soal kemarin

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Soal kemarin ... gue minta maaf."

"Ya, terserah lo."

"Jangan marah lagi."

"Iya, nggak marah."

Kafka mengulum senyum. Ia menegakkan tubuhnya dan bersandar pada sandaran tempat tidur. Kalau ditanya bagaimana kondisinya, ia sudah jauh lebih baik saat ini. Mungkin besok atau lusa sudah dibolehkan untuk pulang ke rumah. Atau jika tiba-tiba episode depresinya kembali muncul ... mungkin Azri akan membawanya ke rumah sakit jiwa.

"Lo juga harus minta maaf ke ayah lo," ucap Semesta. Ia menutup modul setebal seratus halaman yang harus diisi dengan tulisan tangan, lalu memasukkannya ke dalam tas ransel yang tergeletak menyedihkan di sisinya. "Bukannya apa, tapi kalau ayah lo nggak pulang cepat pas itu, mungkin lo udah mati."

Kafka mengangguk pelan, tidak berani menyanggah. Nyatanya, ucapan Semesta memang benar. Andai Azri tidak pulang lebih cepat hari itu ... mungkin Kafka akan bertemu bundanya lebih cepat.

Ketemu Bunda ... ya? Emang itu yang gue mau, 'kan?

"Kak, gue jadi kepikiran."

"Nggak usah mikir dulu, bisa?"

Kedua kelopak mata Kafka menyipit, berbarengan dengan lengkungan pada sudut bibirnya. Sekali, ia mengedipkan sebelah matanya. "Gue nyesel ngelakuin hal bodoh kayak kemarin."

"Iya, emang harusnya lo menyesal."

"If I had to go, I'd like to go out just as beautifully."

"I'd prefer you don't go." Semesta mengalihkan pandangannya pada Kafka. Laki-laki itu sedang menatap ke luar jendela, menatap langit biru tanpa hiasan sama sekali. Maniknya tampak teduh, terpapar sinar matahari yang tidak seterik biasanya. Lantas, Semesta menunduk dalam.

"Please don't say that," ucap Semesta lirih. Ia bahkan memilih untuk membuang pandangannya dan tidak ingin menatap Kafka. "Not even as a joke."

"Sorry." Kafka menoleh, menatap Semesta tepat ketika kalimat terakhirnya diucapkan. "Mau camilan?"

"Lebih enak makan mie ayam di kantin."

Kafka terkekeh pelan. "Mahal harganya," celetuknya. Ia mengambil biskuit yang ada di atas nakas. Makanan yang menjadi salah satu menu yang dibawa oleh petugas rumah sakit.

"Iya juga." Semesta tertawa singkat. Ia memainkan pulpen yang lupa dimasukkannya ke dalam tas. "Nanti kalau lo udah pulang, jangan bandel lagi, ya."

"Sebenarnya gue nggak bisa janji." Kafka berdeham pelan, menarik selimut hingga kedua kakinya terlihat, namun bahunya tertutupi. Lantas, ia melipat kedua kaki jenjangnya agar dapat ditutupi selimut. "Gue bahkan nggak tahu kapan episode depresi gue muncul lagi. Selama ini gue nggak patuh sama pengobatan."

Semesta menghela napas panjang. "Padahal, lo sering ngasih pendidikan kesehatan soal kepatuhan pengobatan, ya." Ia mengulum bibir sesaat. "Apa yang lo alami ... sebenarnya sama aja kayak penyakit fisik yang orang derita, 'kan?"

"Ya." Kafka menautkan jari-jarinya. Membiarkan kedua telapak tangannya saling bersentuhan. "Kalau dokter Zara tahu gue gini lagi, mungkin gue bakal diceramahin abis-abisan pas check up besok. Atau mungkin gue bakal dapat rujukan buat dirawat di rumah sakit jiwa, biar kalau gue mau berulah lagi, tinggal direstrain."

"Gue bisa ngikat lo sekarang."

Kafka tertawa hingga kedua manik matanya menyipit. Wajahnya tampak memerah. "Gue nggak bersedia," ujar Kafka di sela tawanya.

"Jangan berulah lagi, ya." Semesta tersenyum tipis. "Kalau enggak, gue beneran bakal ngikat lo terus nyeret lo ke rumah sakit jiwa."

"Iya, Kak, iya."

•••

"Kafka gimana?" Sasi bertanya tepat ketika Semesta menutup pintu ruang rawat. Ia meraih lengan Semesta, lalu menggandengnya. "Dia baik-baik aja, 'kan?"

"Iya, baik banget, kok," jawab Semesta. Tangannya perlahan berusaha melepaskan pegangan Sasi dan meraih ponselnya yang sedari tadi bergetar karena banyaknya pesan masuk. Kebanyakan dari grup kelasnya, mengenai info dinas mata kuliah selanjutnya. Maka dari itu, Semesta memilih untuk kembali menyimpannya kembali.

"Bunda khawatir."

"Kalau khawatir, kenapa nggak masuk tadi?"

Sasi menggeleng cepat. "Kamu tahu, mungkin dia bakal lebih terbuka kalau cuma sama kamu. Karena kamu seumuran dia dan dia bisa lebih percaya sama kamu. Bunda putusin buat nggak masuk ke dalam."

"Benar juga, sih." Semesta menganggukkan kepalanya mengerti. "Kafka bilang kalau dia nggak janji buat nggak ngulang perbuatannya lagi. Karena dia nggak stabil. Intinya gitu."

Sasi tidak membalas lagi. Ia putuskan untuk menatap lorong di hadapannya yang mulai kosong, berhubung kini sudah pukul lima sore. Langit masih terang, tapi angin yang berembus rasanta mulai berbeda. Lebih sejuk dan menenangkan, tapi juga membuat Sasi bergidik.

Hingga tiba-tiba, tanpa penyebab yang pasti, Semesta berhenti berjalan. Ia meraih handrail pada dinding, lalu memegangnya dengan erat. Kedua kelopak matanya mengerjap beberapa kali.

"Semesta, kenapa?" Sasi menghampiri Semesta dengan cepat.

"Bunda ...." Bola mata Semesta tampak mulai dilapisi cairan. Ia menatap Sasi dalam-dalam.

Aku nggak mau jalanin pengobatan apa-apa, ya.

Semesta memejamkan matanya erat. Tidak membiarkan tubuhnya terjatuh, meski rasanya kedua tangannya mulai melemah.

"Tolong." Bibir Semesta bergetar. "Bantu aku, Bunda. Kaki aku ...."

[To be continued]

A/n

Stase jiwa membuatku stres 🤪

Padahal aku berniat bikin ceeita ini gak panjang. Karena emang mau sekadar cerita sehari hari aja. Dan sebenernya juga sering aku ambil dari pengalaman aku sendiri kan.

Eh malah kepanjangan.

Wkwkwkwk

Udah

KelabuWhere stories live. Discover now